Perjalanan panjang yang meletihkan tengah dihadapi pihak Pertamina dan Kartika di arena pengadilan tinggi Singapura. Coba bayangkan, betapa nestapa kalau orang berpekara di pengadilan yang telah memakan waktu lebih dari 10 tahun dan tidak tahu kapan akan mencapai garis finis. Apalagi telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 6 milyar untuk membayar honorarium pengacara yang berpredikat Q.C. Tampaknya ada sesuatu yang aneh, yakni mereka yang terlibat dalam permainan komisi itu belum pernah di ajukan ke meja hijau dengan dakwaan korupsi. Padahal, kalau mereka di anggap korupsi, harus digelar sidang pengadilan pidana. Maksudnya, mereka itu terbukti memenuhi semua unsur delik korupsi (UU No. 3 Tahun 1971). Tidak diadilinya mereka yang terlibat korupsi itu, menurut Muladi, mungkin Pemerintah mempunyai pertimbangan lain. Itu tidak salah, karena Pemerintah dapat mendeponir perkara korupsi demi kepentingan umum (TEMPO, 29 Febuari 1992, Laporan Utama). Di sini yang menjadi landasan yuridisnya adalah asas oportunitas (ps. 32 huruf.c UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan). Dalam asas tersebut, diisyaratkan "demi kepentingan umum" suatu perkara pidana dapat dikesampingkan (dideponir). Ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah kriteria yuridisnya demi kepentingan umum itu. Jawaban atas pertanyaan itu sangat nisbi dan tidak ada kepastian hukum. Padahal, pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengakui adanya asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yakni tidak mengenal kelebihan warganegara yang satu terhadap yang lain. Dengan demikian, asas oportunitas dapat membawa diskriminasi hukum bagi para pelakunya, sehingga menimbulkan krisis keadilan dalam menanggulangi bahaya korupsi. HADI DARMONO, S.H. Jalan Jendral Sudirman 899 Purwokerto 53147 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini