Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kaus

Setelah usai pemilu kaus tak lagi menjadi statemen kesetiaan. tapi jadi statemen tentang arti politik. politik tak ada kaitan dengan perubahan dan perubahan tak ada kaitan dengan batin.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANDINGAN besar selalu diakhiri dengan sesuatu yang agak menjijikkan: saling bertukar kaus. Peluit telah ditiup. Seluruh tim telah basah oleh keringat kompetisi. Para pemain telah pegallinu, luka atau lecet, oleh gerak dan benturan. Lalu tiba sebuah ritual yang tidak higienis tapi tampaknya penting: si menang dan si kalah mencopot kaus seragam masingmasing, lalu mereka saling menukarkannya. Sebagai seorang yang tak bisa menganalisa Piala Eropa dan pialapiala lain, dan cuma sesekali menonton sepak bola dari layar televisi, saya selalu menganggap itulah adegan yang paling menarik dari kesibukan di lapangan hijau itu. Tentu, saya selalu membayangkan bagaimana kecut dan busuknya bau itu kaus yang kuyup oleh peluh ("Bagaimana kalau Rud Gullit punya panu?", pikir saya). Tapi tampaknya ini bukan peristiwa aroma dan kebersihan. Ini adalah suatu peristiwa simbolik. Ketika kaus tim "kita" ditanggalkan & dipertukarkan dengan kaus lawan, apa sebenarnya yang dikatakan? Yang dikatakan: tim "kita" dan tim "mereka" adalah satuansatuan yang didefinisikan hanya oleh warna kaus. Para suporter boleh meradang seperti kecebong mabuk, tapi sergapmenyergap di lapangan itu tak berlaku buat seumur hidup. Maradona besok mungkin tak lagi memakai warna itu, dan siapa tahu dua pemain yang tadi berhadapan bulan depan akan bermain dengan kaus yang sewarna. Kaus: lambang sikap bersungguhsungguh yang sementara dari "antagonisme". Kesimpulan itu tentu saja tak orisinal. Beberapa hari setelah Pemilu 1992 selesai, di seluruh Indonesia orang juga masih mengenakan kaus kuning, putih, atau merah. Tapi seperti seusai pertandingan bola, kaus tak lagi jadi sebuah statemen kesetiaan yang serius. Ia jadi sebuah statemen tentang apa arti politik sekarang. Mungkin seseorang (seperti Rojali, tetangga saya) punya tiga kaus sekaligus, dan mengenakan yang satu untuk ambil air dan yang lain untuk pergi main orkes. Mungkin pada suatu pagi tiga orang mengenakan tiga kaus yang berbedabeda warnanya, lalu (dengan lambang PPP, Golkar, dan PDI) ketiganya saling membantu memotong lembu di Hari Idul Adha atau mendorong mobil di tempat parkir. Pemungutan suara sudah rampung, pemenang sudah diketahui, dan setelah itu, wallahualam. Yang pasti, yang kalah tak akan punah, dan yang menang mau berjuang apa? Pemilu ini bukan pilihan antara hidup dan mati, "ya" atau "tidak", bukan untuk mengubah sejarah dan manusia. Bahkan sebenarnya pemilu ini tak dimaksudkan untuk mengubah. Bagai sebuah pertandingan sepak bola (yang juga bukan untuk merombak dunia): kaus telah dipakai bertanding, lalu dicopot, dan para pemain/peserta bukan lagi pemain/peserta. Kaus: pernyataan bahwa politik adalah sesuatu yang tak ada sangkut pautnya dengan perubahan, dan perubahan tak ada kaitannya dengan batin. Rojali, tetangga saya, punya bapak yang berkeluh kesah. "Kau ikut kampanye Golkar, kau ikut kampanye PDI, kau ikut kampanye PPP," katanya memarahi anaknya. "Ke mana kamu berpihak? Tahukah kau bahwa kau, anggota "massa yang mengambang", adalah sepotong gabus bekas sumbat botol kecap: tak punya bobot, dan sebab itu dilepaskan sebuah botol kecap kau tak punya harga lagi?" Perlu diketahui, bapak Si Rojali punya sebuah masa lalu: di tahun 1955 ia ketua cabang Partai Masyumi di Rangkasbitung. Menurut dia, di tahun 1955 pemilihan umum bukan sekadar kegiatan yang terjadi karena didorongdorong lurah. Ketika itu parlemen benarbenar punya fungsi. Maka pemilihan para wakil rakyat erat berkait dengan harapan terjadinya tindakantindakan besar. Politik jadi soal yang serius, sangat serius, seharihari. Rojali, tentu saja, tak paham. Ia pergi latihan orkes di rumah Pak Lurah dengan kaus PPP. Temantemannya mengenakan kaus kuning bergambar beringin atau bertuliskan "Hardrock Cafe". Di waktu kampanye dulu kaus memang sehelai seragam, yang sanggup menggabungkan seseorang ke dalam satuan yang lebih besar dan lebih bermakna. Tapi malam itu, di depan saksofon, gitar, dan organ, kaus hanya mencerminkan kehendak untuk dianggap cuek dan tak mau masuk angin. Kaus: sebuah tanda bahwa ini aku, tubuhku, penampilanku, dengan atau tanpa kesepakatan orang lain. Demikianlah kaus menampik jadi alat politik terus sampai rombeng. Politik (Rojali juga membaca Max Weber) bukanlah "etika hatinurani". Ia bukan kegiatan untuk mencapai tujuan yang absolut dan membuat manusia jadi orang suci. Etika adalah batas, bukan tujuan. Proses politik bukanlah mempersoalkan terusmenerus apa yang secara moral benar, melainkan, bertolak dari yang sebuah konflik, bagaimana kita bisa memecahkannya tanpa menimbulkan bahaya besar bagi siapa saja yang bersangkutan. "Toh kita sudah satu ideologi," kata Rojali kepada ayahnya, seperti menghafal. Ayahnya merasa ada halhal yang belum jelas, tapi ia diam dan di rumahnya ia dengarkan dari jauh anaknya meniup saksofon. Lagu: And it's all in the game. Game: permainan, atau pertandingan? Permainan pertandingan? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus