Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARAKNYA inovasi baru dalam memahami ajaran Islam di Tanah Air merupakan gejala positif yang patut disyukuri. Prinsipnya, mari mencari selamat di akhirat tanpa melupakan aspek duniawi. Tak jadi soal, walau metode yang ditawarkan terkesan menyodorkan jalan pintas dan dikemas begitu menggoda. Ada terapi salat tahajud untuk menyembuhkan berbagai penyakit, pelatihan salat khusyuk, metode praktis membaca Arab gundul, dan entah cara pintar apa lagi.
Boleh dikata, selama lima tahun terakhir ini, ada fase baru yang ditandai dengan kegairahan mendalami Islam melalui cara pendekatan modern ini. Sang ustad, dai, mubalig, atau bahkan motivator spiritual, sibuk menulis buku tentang temuan barunya itu. Ternyata buku-buku itu kemudian laris manis, dan sang penulis lalu mempraktekkannya kepada umat mulai di balai desa, musala, pelataran kantor, hingga hotel berbintang. Tak sedikit pula yang memakai alat bantu teknologi mutakhir.
Spirit yang terkandung agaknya sederhana: belajar agama itu mudah, dan jalan menuju Tuhan terbuka lebar. Jangan bayangkan yang sulit-sulit. Mereka seperti meneruskan pesan hadis dalam konteks pemelajaran yang menekankan sisi kemudahan, keriangan, dan bukannya malah keruwetan. Pesertanya membludak, dari yang gratisan (untuk kaum duafa) sampai yang harus rela merogoh kocek berjuta rupiah. Jadwal sang ustad pun sibuk bukan kepalang. Agendanya penuh sampai berbilang bulan ke depan.
”Jualan” mereka memang membuat orang tergiur. Ketimbang menghabiskan waktu bertahun di pesantren, orang memilih jalan singkat agar mahir membaca kitab klasik yang tak bertanda baca. Dari sana datang kemudahan mempelajari Quran, hadis, dan sebagian besar khazanah keislaman yang tersaji dalam kitab berbahasa dan tulisan Arab. Selama ini umat pun ngeri melihat huruf yang njelimet dalam kitab kuning—lembaran kertasnya memang kekuningan. Nah, dengan metode Amtsilati ala Kiai Taufiqul Hakim ini, orang tak harus mondok berlama-lama di pesantren untuk belajar ilmu gramatika (nahwu) dengan memutar-mutar harakat sampai pusing.
Tak ada yang salah dengan inovasi dalam memahami ajaran agama ini. Kita tentunya angkat jempol terhadap Profesor Doktor Mohammad Sholeh, yang mau memasyarakatkan ”ijtihad” dan disertasi cum laude-nya. Dia mengupas salat tahajud dengan pendekatan psikoneuroimunologi. Umat baru tahu bahwa mendekatkan diri pada Sang Khaliq itu ternyata bisa berbonus sehat jasmani-rohani. Bagi Ustad Abu Sangkan, pelatihan salat khusyuknya jelas dirindukan khalayak yang selama ini didera rasa penasaran.
Bahwa kemudian kerja keras dan karya terobosan mereka berbuah rezeki sekiranya juga wajar. Tentu saja sepanjang tak ada yang dirugikan dalam pluralisme beragama yang kemudian beraroma bisnis ini. Toh, umat tak dipaksa-paksa membeli buku mereka (Amtsilati malah dicetak di kertas merang supaya lebih murah ketimbang fotokopian), atau mengikuti pelatihan salat, misalnya. Baguslah kalau mereka menyiapkan paket gratis untuk kalangan kurang mampu—dan ini harus dijaga kelangsungannya.
Umat tentunya butuh bantuan untuk membuka jalan rohani alias bertawasul. Apalagi hidup sudah menyita waktu begitu ketat. Tak ada waktu buat mendalami agama secara khusus. Terlebih lagi bagi yang semenjak masa kanak sama sekali tak bersentuhan dengan aspek spiritual. Kebutuhan untuk mencari ”jalan pintas” ini lalu dipenuhi oleh tawaran menarik dari ustad tadi—yang juga butuh ”modal” untuk menuangkan ilham. Mekanisme pasar pun terbentuk dengan sendirinya tanpa perlu diatur-atur.
Ada baiknya semua berbaik sangka. Sepanjang saling menguntungkan dan tak ada unsur tipuan, mengais fulus di jalur agama oke-oke saja. Cuma, kepada sang ustad perlu diingatkan: jangan terjerumus pada komersialisasi agama yang berlebihan. Janganlah kemudian uang menjadi segala-galanya, sehingga lupa diri dan lupa umat lantaran sibuk menimbun kekayaan dari argometer dakwahnya yang terus berputar. Membentuk yayasan yang dikelola orang-orang terpercaya tampaknya bisa menjadi pilihan bagi misi sosial ini.
Kegairahan beragama yang sehat dalam masyarakat majemuk ini haruslah dijaga. Biarlah hasrat dan hak privat mereka untuk hidup saleh sebagaimana dijamin konstitusi bisa terpenuhi. Jangan lagi energi mereka dikuras habis oleh perdebatan laten tentang fikih yang kontraproduktif dan mau menang sendiri sebagaimana terjadi tempo hari. Mereka perlu masuk era spiritualisme baru, yang tak larut dalam haru-biru radikalisme, terorisme, atau kekerasan akibat perang ayat yang sangat ideologis-politis.
Bahwa keinginan mereka baru sebatas mencari jalan pintas tentunya patut dimaklumi. Mayoritas umat memang berada pada tahap pengenalan ini. Mereka adalah kaum kebanyakan yang kadar pengetahuan dan praktek agamanya masih belum mendalam. Mereka adalah umat yang selama ini baru sebatas bertanya tentang hukum ngupil ketika berpuasa, atau bingung cara mandi junub tanpa setetes pun air di padang pasir—”apakah saya harus berguling-guling di gurun, Ustad?” Mereka yang haus ilmu agama ini perlu dibantu, bukan ”dicekik” dengan biaya selangit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo