Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ke-'tidak'-bijakan Kenaikan Harga

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dradjad H. Wibowo Ekonom Senior Indef

KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), dan tarif telepon membuktikan bahwa pemerintahan Megawati telah tersandera oleh agenda fundamentalisme ekonomi. Akibatnya, pemerintah dan masyarakat semakin ditempatkan pada posisi yang berlawanan.

Jika pemerintah tetap arogan, saya khawatir modal utama sejak Agustus 2001, yaitu stabilitas politik, justru rusak. Padahal, dengan modal ini, ditambah keberuntungan eksternal karena depresiasi dolar AS, stabilitas makro mulai membaik selama 2002.

Jika modal tersebut rusak, rupiah bisa terdepresiasi lebih awal dari dugaan semula. Ini akan menaikkan inflasi dan suku bunga. Artinya, stabilitas makro ikut rusak. Jika terjadi eskalasi drastis dari gelombang protes masyarakat, bukan tidak mungkin kita menuai efek politik yang sangat destruktif. Dengan kata lain, bukan hanya fundamental makro yang rusak, bisa-bisa kita kehilangan momentum pemulihan ekonomi selama dua tahun.

Pemerintah boleh saja mengemukakan berbagai argumen teknis ekonomis sebagai pembenaran ke-tidak-bijakan kenaikan harga. Sebagian argumen itu mungkin benar. Misalnya, memang benar penduduk miskin hanya mengkonsumsi sekitar 0,3 persen dari konsumsi BBM nasional. Jadi, mereka tidak banyak menikmati subsidi BBM yang mencapai Rp 30,4 triliun pada tahun 2002.

Selain itu, benar bahwa tanpa konservasi energi dan penemuan sumber energi baru, Indonesia terancam menjadi net importer minyak. Juga benar argumen tentang penyelundupan, pengoplosan, dan pemborosan penggunaan BBM. Benar pula kalau dikatakan Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) menggariskan penghapusan subsidi secara bertahap. Tapi tidak secara otomatis argumen di atas membenarkan keputusan yang diambil pemerintah. Untuk itu, ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan, sebagai berikut.

Pertama, secara filosofis, fundamentalisme ekonomi ini sangat tidak sesuai dengan situasi ekonomi dan sosial politik yang ada. Secara teoretis, ini bertentangan dengan the Murphy's Law of Public Policy.

Hukum Murphy menggolongkan kebijakan publik, khususnya di bidang ekonomi, menjadi hard-headed dan soft-headed serta hard-hearted dan soft-hearted.

Kebijakan hard-headed secara ketat mengikuti mahzab neoklasikal dan moneteris. Agendanya antara lain stabilisasi makro, liberalisasi, privatisasi, dan rasionalisasi hubungan industrial. Pengurangan atau penghapusan subsidi menjadi instrumen penting stabilisasi fiskal dan makro. Kebijakan soft-headed merupakan antitesisnya: privatisasi dan pengurangan subsidi diharamkan.

Kebijakan hard-hearted tecermin dari diabaikannya distribusi manfaat dan biaya ekonomi di dalam masyarakat. Manusia dipandang tidak lebih dari angka-angka. Tidak ada pembedaan kebijakan terhadap, misalnya, yang cacat dan yang normal ataupun yang punya akses ekonomi dan yang tidak. Pendekatan soft-hearted adalah kebalikannya.

Menurut Hukum Murphy, agar kebijakan kontroversial seperti pengurangan subsidi bisa diterima masyarakat, diperlukan kebijakan hard-headed and soft-hearted. Agenda yang digotong Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan tim ekonomi pemerintah, sayangnya, cenderung hard-headed and hard-hearted. Akibatnya, masyarakat terbelah karena jurang ekonomi antara yang diuntungkan dan yang dirugikan semakin lebar.

Kedua, model, analisis, dan data yang digunakan, kalau memang ada, perlu dipertanyakan kesahihannya. Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian yang out of touch, yaitu kenaikan harga ini tidak memberatkan masyarakat, merupakan alasannya.

Memang, inflasi diperkirakan naik sekitar 2,1 persen dari semestinya. Estimasi awal Indef ini didukung oleh prakiraan Ketua Badan Pusat Statistik (BPS). Namun inflasi adalah angka abstrak, yang tidak langsung dirasakan masyarakat.

Masyarakat lebih melihat berapa kenaikan pengeluaran rumah tangga, baik untuk kegiatan produksi maupun konsumsi. Sayangnya, data yang sering dipakai adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS. Semua peneliti yang pernah memakai data Susenas tahu pasti keterbatasannya. Intinya, apakah Susenas secara akurat memetakan pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga?

Saya pernah menghitung elastisitas pengeluaran rumah tangga terhadap minyak goreng, dan yang keluar adalah angka yang aneh. Selain itu, karena lamanya time lag, sering kali prediksi kita meleset jauh.

Sebagai bandingan, data inflasi dan pertumbuhan relatif lebih tepat waktu dan sahih daripada Susenas. Toh, para ekonom (termasuk saya) masih sering salah dalam memprediksi inflasi dan pertumbuhan.

Kalau berdasarkan data agregat, pengeluaran rumah tangga diduga naik 22-25 persen. Artinya, kalau kita biasa mengeluarkan Rp 1 juta per bulan, agar konsumsi tetap, pengeluaran kita harus naik Rp 220 ribu-Rp 250 ribu per bulan. "Uji petik" awal yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menguatkan estimasi di atas: terdapat kenaikan 20 persen.

Yang juga diabaikan adalah efek multiplikatif dari kenaikan harga dan asimetri dalam pembentukan harga. Maksudnya, pelaku usaha mentransfer beban lebih besar kepada konsumen sejauh elastisitas harganya memungkinkan. Akibatnya, pemerintah menduga harga semestinya naik 0,5 persen, tapi faktanya naik minimal 15 persen.

Jadi, kita tidak bisa memprediksi masyarakat hanya di atas kertas dalam ruangan berpenyejuk udara. Peneliti wajib membaca kisah nyata di masyarakat.

Ketiga, terdapat alternatif lain yang lebih sesuai dengan Hukum Murphy. Dibandingkan dengan tahun 2002, total subsidi yang dihemat Rp 16,2 triliun. Dikurangi dana kompensasi Rp 4,4 triliun, dan stimulus pajak Rp 6 triliun, penghematan netonya hanya Rp 5,8 triliun. Tapi biaya sosial politiknya sangat tinggi.

Alternatif lain, pemerintah bisa menaikkan jumlah wajib pajak dari 2,9 juta menjadi 5 juta. Ditambah peningkatan tarif pajak efektif dan penurunan tarif pajak nominal, dan pengampunan pajak, setidaknya bisa diperoleh tambahan Rp 10 triliun. Ini estimasi konservatif karena ada yang menduga angkanya Rp 30 triliun.

Dari bunga obligasi rekap, bisa dihemat Rp 15,2 tiliun. Ini jika alternatif yang diusulkan Tim Independen digunakan. Jadi, kita sudah menghemat Rp 25,2 triliun, lebih tinggi dari pengurangan subsidi, dan tanpa risiko sosial politik yang berarti.

Keempat, agenda fundamentalisme ekonomi di atas tidak sesuai dengan rasa keadilan. Mereka menghalalkan subsidi besar-besaran bagi perbankan, tapi mengharamkan subsidi bagi masyarakat.

Pada tahun 2000, subsidi BBM dan non-BBM bagi masyarakat Rp 62,7 triliun, dua kali lipat subsidi perbankan melalui bunga utang dalam negeri (Rp 31,2 triliun). Pada 2001, subsidi perbankan Rp 58,2 triliun atau Rp 19,6 tiliun di bawah subsidi masyarakat.

Tapi, sejak 2002, subsidi perbankan mulai melebihi subsidi masyarakat, yaitu Rp 59,5 triliun atau Rp 17,9 triliun di atas subsidi masyarakat. Pada 2003, subsidi perbankan Rp 55,1 triliun, sementara subsidi masyarakat Rp 30 triliunan lebih rendah. Anehnya, hal ini malah dianggap sebagai prestasi oleh Tim Ekonomi.

Kelima, pengurangan subsidi memang diamanahkan Propenas. Tapi demikian juga pengurangan biaya restrukturisasi (baca: subsidi) perbankan dan pembangunan sistem jaminan sosial. Kenapa keduanya tidak dilakukan juga?

Selain itu, faktor simbol pun berpengaruh. Pada saat harga dinaikkan, elite politik justru sedang berpesta di Bali, konglomerat jahat diampuni, dan aset vital seperti Indosat diobral. Jangan salahkan masyarakat kalau muncul kemarahan kolektif.

Karena itu, sebaiknya pemerintah membatalkan keputusan kenaikan harga tersebut dan mencari alternatif yang lain bagi penyelamatan APBN. Jangan takut kepada "partai" IMF dan Bank Dunia. Tapi dengarkanlah "partai" masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus