Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kenaikan Tarif

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri Direktur LPEM-FEUI

SAYA tak teramat pasti, masih adakah tempat bagi rasionalitas ekonomi di tengah kemarahan yang meledak. Kemarahan dan protes yang muncul tentu sesuatu yang wajar. Bagaimana tidak, keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif listrik, dan tarif telepon jelas bukan suatu kebijakan yang populer. Dunia usaha juga mengeluh karena khawatir kehilangan daya kompetisinya. Tentu tak ada yang salah dengan kemarahan ini. Namun ada baiknya juga bila kita kemudian mencoba melihat soal ini dengan lebih tenang.

Krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan kita tidak diizinkan untuk berperilaku salah. Demi pemulihan ekonomi, kita juga harus menghilangkan berbagai kebijakan yang salah arah. Kita tak lagi punya kemewahan untuk menyubsidi semua orang. Karena itu, harus ada prioritas. Dan kalaupun subdisi diberikan, itu tentu harus kepada yang benar-benar membutuhkannya, yakni kelompok miskin.

Yang harus disadari, ketika instrumen kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan memiliki limitasinya, penting untuk dipertanyakan apakah kebijakan pengeluaran publik itu efektif dan efisien atau tidak. Kebijakan pengurangan subsidi BBM, misalnya, justru unik karena memenuhi unsur keadilan. Selama ini, pemberian subsidi BBM tak lebih dari pemberian subsidi terus-menerus kepada masyarakat menengah atas. Secara intuitif kita pun tahu, seseorang yang amat miskin akan menggunakan seluruh uangnya untuk membeli makanan, sehingga porsi nonmakanan, termasuk listrik, transportasi, dan berbagai alat yang menggunakan BBM, akan relatif kecil.

Sebaliknya mereka yang mampu. Pola konsumsinya sudah didominasi oleh konsumsi nonmakanan, seperti barang elektronik, mobil, atau bahkan kapal pesiar. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) menunjukkan bahwa untuk listrik, kelompok nonmiskin mengkonsumsi 1,27 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Untuk bensin, kelompok nonmiskin mengkonsumsi 8,2 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Dan untuk solar, kelompok nonmiskin mengkonsumsi 99,4 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin! Namun, untuk minyak tanah, kelompok miskin mengkonsumsi 1,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok nonmiskin. Karena itu, minyak tanah tetap membutuhkan subsidi. Pendeknya, subsidi BBM salah sasaran dan justru menguntungkan kelompok nonmiskin. Dari sudut pandang keadilan inilah ada alasan kuat mengapa subsidi BBM dan listrik perlu dihapus.

Akan halnya industri, harga BBM dan tarif listrik yang disubsidi justru akan memberikan insentif kepada sektor ini untuk lebih menggunakan mesin ketimbang tenaga kerja. Implikasinya, perluasan lapangan kerja bisa tak tercapai. Pertanyaannya: mengapa kita harus menyubsidi yang kaya? Mengapa kita membayar pajak agar bisa digunakan untuk subsidi orang kaya? Dari sisi ini, subsidi BBM dan listrik memiliki dasar argumentasinya, walau kita juga bisa bertanya tentang relevansi Telkom ikut menaikkan harga. Dengan laporan keuangan yang mengungkapkan keuntungan Telkom, tidak salah untuk bertanya, apakah keputusan kenaikan tarif telepon cukup relevan.

Hal lain yang perlu dicatat, tiap masalah ekonomi memiliki dua sisi. Kerisauan orang tentang dampak inflasi tampaknya harus diperhitungkan juga. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik jelas akan menimbulkan cost push inflation yang pada gilirannya memacu inflasi. Akibatnya, harga-harga akan naik. Dan kalau kenaikan harga terjadi, bukankah orang miskin juga yang menanggung bebannya? Dalam konteks ini, dampak inflasi harus dilihat dari permasalahan kemiskinan pula.

Perhitungan LPEM-FEUI menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM sebesar 5-22 persen akan meningkatkan inflasi sebesar 0,92 persen. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM tahun lalu. Alasannya sederhana: tingkat kenaikan harga BBM yang terjadi pada tahun 2003 sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan tahun lalu. Dengan metode yang sama, dampak inflasi dari akumulasi kenaikan harga BBM mencapai 2,02 persen. Walau dampak inflasinya relatif terbatas, harus disadari betapa rentannya nasib kelompok miskin terhadap perubahan harga. Dan kalau hipotesis ini benar, kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 2 juta-3,5 juta orang. Itu sebabnya perlu ada tindakan untuk membantu mereka.

Hasil perhitungan menunjukkan, jika pemerintah melakukan program kompensasi dengan beras murah seharga Rp 1.000 dan pembebasan SPP dengan tepat, persentase penduduk miskin justru akan menurun sebanyak 5 juta orang. Di sini tantangannya: mungkinkah program dana kompensasi tepat sasaran? Soal ini harus dijawab pemerintah segera dan dengan efektif. Artinya, pemerintah tidak bisa lagi menekan penduduk miskin dengan berbagai perilaku korupsi dan manipulasi atas dana kompensasi, dan juga perilaku korupsi atas uang publik. Situasinya mendesak dan penduduk miskin wajib ditolong.

Bagi dunia usaha, pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus untuk menggerakan perekonomian. Saya kira ada sedikit kelegaan di sini. Namun yang saya khawatirkan adalah keefektifan dana kompensasi. Jika pemerintah tak serius, resistensi akan terus meningkat. Itu sebabnya kenaikan harga BBM dan tarif listrik dianggap sebagai kebijakan yang dilematis. Di satu sisi, subsidi BBM dan tarif listrik hanya menguntungkan kelompok mampu. Di sisi lain, dengan dampak inflasinya, kebijakan ini dapat memperbanyak jumlah orang miskin di Indonesia. Namun kebijakan itu jelas harus memperhitungkan efek politis dan psikologis seperti aspek waktu, sosialisasi, dan kondisi politik. Jika semua itu dilakukan dengan benar, kebijakan kenaikan harga sebenarnya memiliki dimensi keefektifan alokasi pasar untuk kebutuhan pokok, bukan sekadar kebijakan pemicu rasa marah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus