Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

25 Tahun Kematian Wartawan Agus Mulyawan dan Sanders Thoenes

25 tahun lalu, dua jurnalis tewas di Timor Timur. Pengingat bagi kondisi kebebasan pers di Indonesia.

2 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kematian Agus dan Sanders kasus merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tak pernah tuntas diselidiki.

  • Kita berharap bahwa pemerintahan baru nanti akan tetap menghormati kebebasan pers dengan segala dinamikanya.

  • Kita juga berharap pemerintahan Prabowo Subianto benar-benar menjalankan demokrasi esensial ketimbang sekadar demokrasi prosedural.

DUA puluh lima tahun lalu, pemerintah Indonesia menarik diri dari Timor Timur—sekarang Timor Leste—setelah penduduk di provinsi ke-27 Indonesia ini menentukan nasib sendiri (referendum). Hasil referendum menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Timor Timur memilih merdeka ketimbang tetap menjadi bagian republik yang menaunginya selama 23 tahun, sejak 1976.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penarikan pasukan militer Indonesia ini dilakukan dengan strategi membumihanguskan wilayah yang ditinggalkan. Strategi ini tak hanya dilakukan personel militer, tapi juga para pendukung Indonesia. Tindak kekerasan pun terjadi di mana-mana. Salah satu peristiwa kekerasan yang menonjol adalah pembunuhan terhadap dua jurnalis yang saat itu bertugas di sana, yakni Agus Mulyawan dan Sanders Thoenes. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah proses jajak pendapat pada September 1999, situasi Timor Timur sangat kacau. Terlebih ketika milisi prointegrasi (pro kepada pemerintah Indonesia) kecewa terhadap hasil jajak pendapat dan melakukan berbagai kekerasan di berbagai tempat. Agus Mulyawan adalah jurnalis Indonesia yang bekerja sebagai fotografer untuk Asia Press, sebuah kantor berita asal Jepang. Wartawan yang banyak meliput wilayah konflik di Indonesia ini tewas di usia 26 tahun.

Pada 25 September 1999, Agus bersama rombongan biarawati berangkat menuju Pelabuhan Qom untuk memberi bantuan kemanusiaan di kamp pengungsian di pelabuhan setempat. Dalam perjalanan pulang, rombongan ini dicegat sekelompok milisi prointegrasi. Mobil yang ditumpangi Agus dan rombongan lain ditembaki dan dibakar. Agus menjadi salah satu korban kekerasan tersebut. 

Sementara itu, Sander Thoenes adalah jurnalis asal Belanda yang juga mengalami kekerasan dan menemui ajalnya di Timor Timur. Jurnalis 31 tahun ini pernah meliput sejumlah wilayah konflik sebelum kemudian pada1997 ia ditugaskan di Jakarta dan meliput untuk Financial Times

Thoenes meninggal karena ditembak dari jarak dekat, setelah kendaraannya dicegat, juga oleh kelompok prointegrasi saat ia hendak meninggalkan wilayah Timor TImur selepas referendum. Setelah kematiannya, Thoenes mendapat penghargaan kebebasan pers dari National Press Club di Washington, D.C. Koran Financial Times pun menggunakan namanya sebagai salah satu penghargaan yang diberikan kepada lulusan jurusan jurnalistik di wilayah Inggris.  

Makna Peristiwa 25 Tahun Lalu 

Peristiwa yang dialami Agus Mulyawan dan Sanders Thoenes perlu diingat kembali karena ini merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tak pernah tuntas diselidiki. Sampai sekarang, tak jelas siapa penyebab dan pelaku pelanggaran tersebut. Jangan sampai Agus dan Thoenes hanya menjadi bagian dari statistik kekerasan terhadap wartawan yang tenggelam bersama berbagai kekerasan lain yang dialami para jurnalis di wilayah Indonesia. 

Sebentar lagi kita akan menyaksikan peralihan kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Banyak pihak sudah mengingatkan agar pemerintahan baru tetap menjaga kebebasan pers serta kebebasan berekspresi yang telah ada. Sebab, dua hal ini merupakan bagian dari konstitusi republik kita. 

Jika memang kita tetap ingin disebut sebagai negara yang demokratis, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi merupakan bagian yang esensial dari suatu negara yang demokratis. Statistik menyangkut kekerasan terhadap jurnalis sudah dicatat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) setiap tahun. Tapi tetap saja masih banyak pihak yang memilih jalan kekerasan alih-alih menempuh prosedur sesuai dengan undang-undang untuk menyelesaikan sengketa masalah pemberitaan. 

Kita berharap pemerintahan baru nanti tetap menghormati kebebasan pers dengan segala dinamikanya. Pemerintah harus percaya bahwa pers yang bebas adalah bagian dari mekanisme demokrasi untuk melakukan check and balances atau perimbangan kekuasaan. 

Peringkat kebebasan pers di Indonesia pada 2023, sebagaimana diumumkan oleh lembaga Reporters Without Borders, memang meningkat menjadi ranking ke-108, naik dibanding posisi pada 2022, yaitu ke-117. Meski demikian, Indonesia masih dianggap sebagai negara setengah merdeka, alias persnya tidak merdeka sepenuhnya. 

Kita menunggu dengan harap-harap cemas, apakah peringkat kemerdekaan pers Indonesia akan melorot lagi pada masa pemerintahan baru nanti? Kita tentu berharap bahwa pers akan tetap mendapat kemerdekaannya dalam rezim pemerintahan mana pun. Sebab, hal ini merupakan komitmen sejak era reformasi, yang juga mematrikan Indonesia sebagai negara demokratis.

Kita berharap demokrasi yang dilakukan di Indonesia ini sebagai demokrasi yang esensial, yaitu demokrasi yang menyentuh pada praktik-praktik konkret sebuah negara demokrasi, yang di dalamnya perbedaan pendapat dilihat sebagai hal yang biasa dan kritik kepada pemerintah harus dilihat sebagai bagian dari proses demokrasi, bukan ancaman terhadap pemerintah.

Perangkat hukum yang ada beserta aparatnya harus memahami esensi negara berdemokrasi serta kemerdekaan pers ini sehingga tak mudah alergi terhadap kritik, masukan, ataupun bentuk-bentuk kebebasan berekspresi yang disampaikan warga negaranya. 

Kita juga berharap pemerintahan Prabowo benar-benar menjalankan demokrasi esensial ketimbang demokrasi prosedural, yakni pemerintahan sekadar menjalankan mekanisme formal, tapi pada esensi praktiknya tak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Tanda-tanda demokrasi prosedural, seperti pelaksanaan pemilu tapi sejumlah aspeknya melanggar nilai-nilai demokrasi, atau perumusan kebijakan yang jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat, terlihat jelas pada era pemerintahan Jokowi. 

Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah bagian dari praktik demokrasi esensial. Dalam praktiknya, demokrasi esensial mengandung upaya untuk menghormati kerja-kerja jurnalis dalam menyebarkan informasi serta melindungi para pengirim kabar ini, bukan malah membungkam atau menghalangi kerja para jurnalis (killing the messenger).

Kita berharap, setelah pergantian rezim pemerintahan nanti, para jurnalis makin leluasa bertugas menjalankan fungsinya, walaupun presiden baru nanti mungkin akan sering menghindari cegatan wartawan untuk bertanya secara spontan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Ignatius Haryanto

Ignatius Haryanto

Pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Banten. Anggota KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia), dan anggota Kaukus Revisi UU Penyiaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus