Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga pangan yang menjadi kebutuhan orang banyak tak pernah stabil.
Pangkal soalnya adalah pasokan.
Swasembada pangan masih sebatas lip service pemerintah.
BEGINILAH jadinya jika Indonesia memuliakan para pemburu rente: harga pangan yang menjadi kebutuhan orang banyak tak pernah stabil. Tiap menjelang hari-hari besar yang memicu kenaikan permintaan, seperti Ramadan, harga pangan selalu melonjak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum selesai urusan minyak goreng, kedelai langka sehingga harga tahu-tempe melonjak. Kini harga daging segar juga naik akibat pemerintah telat mengimpornya dari Australia. Sebentar lagi mungkin roti akan langka karena 25 persen gandum diimpor dari Ukraina, negara yang sedang sibuk menghadang invasi Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangkal soalnya adalah pasokan. Hukum ekonomi sederhana, antara pasokan dan permintaan tak pernah seimbang. Ketika pasokan turun karena barang langka, harga pangan akan melonjak. Karena pasokan pangan pokok sebagian besar berasal dari impor, para importir yang menangguk untung besar. Merekalah pemburu rente tata kelola pangan kita selama ini.
Soal daging sapi, misalnya. Kelangkaannya akibat pemerintah telat memberikan izin impor. Sudah menjadi rahasia umum, kuota impor menjadi ladang permainan para politikus untuk mendapatkannya. Mereka bermain sendiri dengan menekan pemberi kuota atau menjadi kepanjangan tangan pengusaha besar dengan mengatur pembagiannya lewat regulasi.
Kebijakan yang kisruh juga membuat Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar tapi minyak goreng langka di pasar. Kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar luar negeri membuat pengusaha lebih senang mengekspornya. Kebijakan harga tunggal dan kewajiban memenuhi pasokan dalam negeri tak membuat pengusaha tergiur mengikuti anjuran pemerintah.
Tata kelola sawit yang oligopolistik membuat harga minyak sawit dimainkan oleh segelintir pemain besar yang menguasai industri hulu hingga hilir. Keadaan ini diperparah oleh pemakaian sebagian besar pungutan ekspor sawit untuk subsidi biofuel, alih-alih membereskan industri hilir sawit dengan memperbanyak pemainnya melalui insentif.
Swasembada pangan, sementara itu, hanya lip service pemerintah. Peringatan keras Presiden Joko Widodo yang akan mengganti Menteri Pertanian jika tak mencapai swasembada hanya angin lalu. Faktanya, pemerintah mengubah politik pangan kita dengan merevisi Undang-Undang Pangan melalui UU Cipta Kerja, yang menempatkan impor sebagai strategi ketahanan pangan, bukan lagi pilihan terakhir untuk menyediakan pangan melalui pasokan lokal.
Dengan segala centang perenang itu, Indonesia nyaris tidak punya harapan memenuhi pangan. Tapi belum terlambat bagi pemerintah untuk introspeksi. Politik pangan harus diubah. Data suplai dan permintaan yang menjadi dasar kebijakan harus dibuat lebih akurat.
Dengan cara itu, kita akan tahu kebutuhan dan strategi memenuhinya dengan cara yang berkelanjutan, bukan dengan food estate yang malah merusak lingkungan dan menguntungkan segelintir orang. Petani harus kembali menjadi andalan dengan mendapat perlindungan dari sergapan para pemburu rente yang memainkan harga pangan melalui pasokan.
Dengan memuliakan petani dan pangan lokal, kita tak akan bergantung pada negara lain melalui impor yang memainkan pasokan dengan semena-mena.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo