Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa kampanye pemilihan kepala daerah, tiga bulan terakhir, justru mempertontonkan suasana berdemokrasi yang keruh. Para kandidat di hampir semua daerah yang secara serentak menggelar pemilihan pada Rabu pekan ini terjebak pada isu-isu primordial ketimbang menawarkan substansi.
Para pendukung calon, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, bahkan memainkan sentimen keagamaan dan ras. Beragam kabar busuk yang menyerang para calon disebar di dinding-dinding digital. Berita palsu ditebar sebanyak-banyaknya. Peragaan kebencian yang membahayakan kerukunan berbangsa tersaji secara brutal.
Terlampau sedikit pendukung yang memiliki basis argumentasi memadai untuk menilai isu-isu yang dilempar kandidat. Perdebatan di dunia maya sering nyaris tanpa isi, disajikan tanpa adab. Hal yang sama terjadi di panggung-panggung kampanye: serang sana-serang sini, selebihnya umbar janji. Kerumunan orang yang memenuhi panggung-panggung itu dipasok gosip yang bisa mempertajam gesekan antarkelompok masyarakat.
Perilaku pemilih semacam itu menyedihkan. Tuduhan penistaan agama, misalnya, terus digoreng untuk menggerus suara calon inkumben, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Anies Rasyid Baswedan diserbu dengan tudingan Syiah. Sedangkan Agus Harimurti banyak dikaitkan dengan pengerahan massa "bela Islam". Begitu pula rumor "penyusupan Partai Komunis Indonesia"—partai yang sebenarnya telah lama dimatikan—untuk menyerang salah satu kandidat di Banten.
Berbagai watak rasis dan primordial para pemilih itu—juga terjadi di beberapa negara, termasuk di Amerika Serikat pada pemilihan umum terakhir—telah menyemai gejala yang disebut oleh Lahcen Haddad, profesor dan politikus dari Maroko, sebagai "kedaulatan negatif". Dukungan yang disalurkan ke kotak suara bukan untuk mencari solusi atau pemimpin yang baik, melainkan buat mengekspresikan penyangkalan, penolakan, ketakutan, dan kebencian. "Kedaulatan" ini diwujudkan melalui penyebaran berita palsu dan mobilisasi massa.
Para calon pemimpin yang tengah bertarung, ironisnya, tak berupaya meredam para pendukung "garis keras" mereka. Pada tiga debat, terutama debat calon Gubernur DKI, mereka menghindar membahas isu-isu yang telah menguras energi publik ini. Isu "penodaan agama" tetap dibiarkan bergerak liar di luar arena debat. Padahal sikap peserta debat terhadap isu ini sangat penting untuk melihat komitmen mereka terhadap persatuan Indonesia.
Kepolisian juga ikut memperburuk kondisi. Akibat polisi tak konsekuen menjalankan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor SE/7/VI/2014—soal larangan memproses laporan pelanggaran hukum calon kepala daerah jika sudah memasuki tahap pemilu sampai pemilihan selesai—ketegangan antarkubu meruncing. Ahok didakwa pada kasus penistaan agama, sedangkan Sylviana Murni, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono, terseret kasus korupsi bantuan sosial.
Kualitas demokrasi kita mengalami penurunan pada pemilihan kepala daerah kali ini. Masyarakat tak siap menerima bahwa demokrasi bisa menghasilkan calon dengan latar belakang berbeda. Masyarakat juga masih gampang tergiring oleh isu mayoritas-minoritas, warna kulit, agama, asal-muasal, juga pribumi atau pendatang, yang sebenarnya sama sekali bukanlah substansi dalam pemilu. Semestinya gagasan, bobot kepemimpinan, dan program para calon kepala daerah yang jauh lebih penting dikedepankan.
Para kandidat selayaknya memikat pemilih dengan menawarkan terobosan-terobosan program yang menjawab persoalan daerah. Para pesohor dan patron-patron politik yang dilibatkan juga semestinya bukan untuk mengkilapkan citra sang calon, melainkan untuk meyakinkan pemilih bahwa program-program sang kandidat akan menyejahterakan masyarakat.
Di DKI, semua calon gubernur telah mengerahkan para patron untuk membujuk 15-20 persen pemilih mengambang yang selama ini terbukti menentukan kemenangan pemilu. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono turun langsung dalam kancah persaingan. Mereka memerintahkan para kader, juga keluarga kader partai, memenangkan calon masing-masing. Mungkin saja mereka menganggap Jakarta sebagai pijakan penting bagi proyek yang lebih besar: pemilihan presiden 2019.
Terjunnya para patron ketiga pasangan dalam pemilihan Gubernur Jakarta telah menggeser lampu sorot, dari kandidat ke tokoh-tokoh masa lampau tersebut. Sepak terjang mereka, bisa dikatakan, ikut memperunyam pesta demokrasi kali ini. Yudhoyono bahkan terkesan ingin menarik Presiden Joko Widodo ke arena politik Jakarta dalam berbagai pidato dan cuitannya di dunia maya. Walau, dalam beberapa hal, usaha itu ada landasannya—misalnya kedekatan Jokowi yang dipertontonkan ketika ia satu mobil dengan Ahok dan Megawati pada satu kesempatan.
Kini, setelah tiga bulan kampanye dengan tiga kali debat, pemilih semestinya punya pengetahuan cukup untuk tidak "mengambil apel busuk dalam karung". Lima tahun ke depan bakal menjadi mimpi buruk jika warga di 101 daerah pada Rabu pekan ini memilih calon yang berkualitas rendah, tak memiliki gagasan baik pada penataan wilayah dan warga, riwayatnya penuh cela, serta hanya bermodal tinggi janji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo