Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA wajib mendukung setiap usaha menyehatkan pers Indonesia. Tidak terkecuali penetapan standar perusahaan pers oleh Dewan Pers—yang diatur Peraturan Dewan Pers Nomor 4 Tahun 2008. Pedoman 17 butir itu, bila dijalankan dengan sungguh-sungguh, diyakini mampu membuat pers menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta lembaga ekonomi yang benar-benar sehat.
Ketika itu, dukungan untuk Dewan Pers datang dari segala arah. Standar itu dibahas sejumlah organisasi, tokoh pers, dan pemimpin perusahaan pers. Dewan Pers—yang ketika itu dipimpin mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Ichlasul Amal—dianggap sudah melahirkan prestasi penting. Dewan Pers waktu itu terkesan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator yang baik. Fungsi itu diatur dalam Pasal 15 (f) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
Ada satu catatan penting. Butir ke-17 dari standar perusahaan pers itu menyebutkan: perusahaan pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Pada masa kepengurusan Bagir Manan, Dewan Pers pada 2015 memberikan mandat kepada Serikat Perusahaan Pers (SPS)—organisasi penerbit media cetak dan media online—untuk bertindak sebagai pelaksana verifikasi media cetak.
SPS sudah jauh melangkah. Pada 2010, SPS mengajak 18 pemimpin perusahaan pers terkemuka menandatangani Piagam Palembang—pernyataan kesediaan untuk meratifikasi standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers. Acara penandatanganan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional itu disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Soal kewenangan Dewan Pers itulah yang membuat berita verifikasi media riuh-rendah sepekan terakhir ini. Apalagi Dewan Pers, yang sejak Maret 2016 dipimpin Yosep "Stanley" Adi Prasetyo, menyampaikan pada acara Hari Pers Nasional di Ambon yang dihadiri Presiden Joko Widodo, pekan lalu, sudah 77 media yang menjalani verifikasi. Ini berarti Dewan Pers turun tangan sendiri melakukan verifikasi atas standar perusahaan pers itu.
Dewan Pers boleh dikata melampaui wewenangnya. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, selain sebagai fasilitator dalam perumusan peraturan di bidang pers seperti tertulis pada Pasal 15 ayat f, fungsi Dewan Pers adalah melakukan pendataan (Pasal 15 ayat h). Dan verifikasi sangat jelas bukan pendataan.
Bukan hanya soal wewenang itu yang merisaukan. Pernyataan Ketua Dewan Pers, Stanley, bahwa dewan itu hanya akan memberi dukungan dan perlindungan kepada pers yang sudah diverifikasi jika terlibat sengketa, pada dasarnya tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 15 butir d menyebutkan fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Pasal itu sama sekali tidak mengharuskan Dewan Pers hanya melayani media yang sudah diverifikasi.
Belum lagi kecemasan soal pemberian barcode bagi media yang lulus verifikasi. Yang dikhawatirkan, pemberian barcode akan membuat sumber berita ragu atau menolak media yang tidak terverifikasi. Kalau ini terjadi, media yang tidak terverifikasi sudah mendapat halangan menjalankan tugas jurnalistiknya.
Usaha Dewan Pers membersihkan media jangan malah menimbulkan pembatasan kebebasan pers Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo