Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKERASAN polisi di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah, makin meneguhkan institusi ini lebih berpihak kepada industri alih-alih melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Pada 7 Oktober lalu, polisi menembak hingga tewas seorang penduduk di sana yang ikut berunjuk rasa menuntut PT Hamparan Masawit Bangun Persada menyediakan plasma perkebunan kelapa sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyediakan plasma atau perkebunan sawit rakyat adalah kewajiban perusahaan sawit sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. Peraturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang mewajibkan perusahaan sawit menyediakan perkebunan sawit rakyat seluas 20 persen dari hak guna usaha mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Desa Bangkal berdemonstrasi karena, dari 1.175 hektare hak plasma mereka, perusahaan baru menyediakan 443 hektare. Alih-alih memenuhi tuntutan itu, PT Hamparan Masawit mengerahkan polisi untuk menghadangnya. Bukannya melindungi masyarakat sebagai bagian dari tugasnya, polisi malah menembaki mereka memakai peluru tajam.
Melihat kebrutalan para polisi itu, slogan Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang diusung Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo jelas gagal. Unsur prediktif dipraktikkan para polisi dengan menghalau masyarakat karena menganggap mereka sebagai perusuh. Padahal konflik sawit di Seruyan sangat sederhana: perusahaan tak melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan undang-undang.
Maka seharusnya polisi menindak perusahaan karena pelanggaran hukum itu. Sanksi tak menyediakan plasma, sesuai dengan undang-undang, adalah penghentian sementara operasi perusahaan hingga pencabutan izin. Jika polisi memahami hukum dengan benar, mereka akan mendampingi masyarakat Desa Bangkal mendapatkan hak sesuai dengan konstitusi.
Apalagi kesalahan PT Hamparan Masawit bukan itu saja. Menurut penelitian Greenpeace Indonesia, dari 8.842 hektare luas tanam sawit perusahaan ini, hampir seluruhnya berada di kawasan hutan. Greenpeace menyebut konsesi perkebunan PT Hamparan sebagai sawit ilegal. Itu berarti HGU dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang belum dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Anehnya, meski ilegal dan tak menyediakan plasma, perkebunan sawit PT Hamparan mendapat sertifikasi ISPO atau Indonesia sustainable palm oil. Artinya, minyak sawit merek Family dan Familie yang diproduksi grup Best Agro Plantation milik Rendra dan Winarno Tjajadi, populer sebagai crazy rich Surabaya, dianggap memenuhi aspek kelestarian, yakni bebas dari konflik sosial dan tak merusak lingkungan.
Bertumpuk-tumpuknya kekacauan tata kelola sawit di Indonesia menunjukkan skema-skema penyelesaian konflik agraria di Indonesia tak berjalan. Pada 2021, Kantor Staf Presiden membentuk tim percepatan penyelesaian konflik agraria yang beranggotakan pejabat lintas kementerian, polisi, dan tentara. Konflik sawit di Desa Bangkal menunjukkan polisi dan perusahaan mengangkangi penyelesaian konflik yang diatur negara itu.
Tata cara penyelesaian konflik agraria yang disusun tim ini juga jelas: pertama-tama polisi yang menjaga keamanan harus berpihak kepada masyarakat. Dari 137 kasus konflik agraria hingga 2021, banyak konflik yang tak jelas siapa yang bersalah. Bahkan, untuk kasus seperti ini, penyelesaiannya pun terang: perhutanan sosial atau reforma agraria. Artinya, masyarakatlah yang harus didahulukan mendapatkan hak akses mengelola lahan.
Konflik sawit di Desa Bangkal tak serumit itu. Masyarakat hanya meminta hak mereka sesuai dengan konstitusi. Maka, jika atas tuntutan masyarakat yang dilindungi hukum tertinggi Indonesia saja polisi masih berpihak kepada industri dan oligark, berarti mereka benar-benar menerapkan adagium hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Fakta itu ditunjang 2.580 aduan kekerasan oleh polisi yang diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sepanjang 2022. Angka jumbo ini seharusnya cukup membuat Kapolri Jenderal Listyo Sigit mundur karena gagal mewujudkan polisi sipil yang melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo