Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kelangkaan Minyak Goreng dan Liberalisme Ekonomi

Andi Irawan, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu, menunjukkan bahwa akar masalah kelangkaan minyak goreng adalah kebijakan yang mendahulukan ekspor. Pemerintah harus membalik kebijakan ini.

30 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kelangkaan minyak goreng belum juga teratasi dengan berbagai kebijakan pemerintah.

  • Pangkal masalah sebenarnya adalah liberalisme dalam pengelolaan minyak sawit.

  • Pemerintah harus mengubah kebijakan yang mengutamakan pasar ekspor.

Andi Irawan
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah beberapa bulan berjalan dan gonta-ganti kebijakan, ketersediaan minyak goreng curah masih langka di pasar. Akibatnya, menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, pedagang masih sulit mendapatkan minyak goreng curah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa kelangkaan ini terjadi? Jawabnya sederhana, karena harga bahan bakunya, minyak sawit (CPO), sedang melambung tinggi. Harga internasional CPO saat ini ditengarai sebagai harga tertinggi yang pernah terjadi selama 40 tahun terakhir, yakni US$ 1.900-an per metrik ton. Lantas, mengapa harga CPO domestik juga ikut-ikutan melambung tinggi, padahal kita termasuk produsen CPO terbesar di dunia? Apakah pemerintah tidak bisa menyediakan CPO untuk kebutuhan domestik?

Kebutuhan CPO untuk minyak goreng itu sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan total produksi CPO Indonesia. Kebutuhan CPO untuk industri pangan sebesar 8,42 juta ton, termasuk untuk minyak goreng. Bandingkan dengan produksi total CPO kita yang 47,18 juta ton. Kebutuhan CPO untuk industri pangan itu seharusnya sangat mudah dipenuhi, apalagi sekadar untuk kebutuhan minyak goreng.

Mungkin ada yang berpikir bahwa kelangkaan CPO untuk pangan terjadi karena dialihkan untuk kebutuhan produksi biodisel domestik yang meningkat. Apalagi ada subsidi yang diberikan untuk industri biodisel, yang menyebabkan motivasi untuk memproduksinya menjadi meningkat. Argumen ini juga tidak benar, karena kebutuhan CPO untuk industri biodisel hanya 7,2 juta ton.

Bahkan, kalau semua kebutuhan CPO untuk industri domestik dipenuhi, pasokan CPO tetap masih mencukupi. Total kebutuhan CPO domestik kita hanya 17,35 juta dan total produksi CPO 47,18 juta ton, atau ada surplus sebesar 29,83 juta ton.

Jadi, kalau kita mengutamakan kebutuhan domestik lebih dulu, fenomena kelangkaan CPO domestik tidak mungkin terjadi. Namun yang kita lakukan adalah ekspor lebih dulu, baru sisanya untuk domestik. CPO yang kita ekspor sebesar 37,39 juta ton sehingga yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya 9,79 juta ton. Inilah kemudian yang menyebabkan kelangkaan CPO dan menjadi awal penyebab kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng.

Paradigma berpikir bahwa ekspor lebih utama daripada memenuhi kebutuhan domestik ini tidak benar, bahkan bila ditinjau dari sudut pandang ekonomi pasar sekalipun. Dalam buku teks ekonomi internasional, ekspor suatu komoditas dilakukan selalu dengan asumsi bahwa kebutuhan domestik sudah terpenuhi, bukan sebaliknya dengan membiarkan ekspor sebebas-bebasnya sehingga kebutuhan domestik tidak tersedia.

Kita tidak boleh membiarkan paradigma liberalisme menggerakkan mekanisme pasar dari komoditas yang dibutuhkan rakyat banyak seperti minyak goreng ini. Liberalisme artinya keputusan diserahkan sepenuhnya kepada para pelaku bisnis berdasarkan insting dan kepentingan pribadinya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Produsen CPO pasti akan mengutamakan ekspor, apalagi pada saat CPO mengalami booming seperti saat ini, sehingga sisanya saja yang mengalir untuk kebutuhan domestik. Bila fenomena ini terus terjadi, ini adalah indikasi kuat bahwa kita dengan sadar membiarkan paradigma liberalisme mengarahkan dan menggerakkan pasar.

Tata kelola pasar tidak boleh digerakkan oleh paradigma liberalisme tersebut. Konstitusi telah menggariskan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan sumber daya negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka, prioritas utama dari produksi CPO haruslah untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan semua pemangku kepentingan ekonomi nasional.

Langkah penting yang harus dilakukan oleh negara adalah membalik prioritas alokasi penggunaan CPO, dari semula untuk kepentingan ekspor menjadi untuk kepentingan domestik. Pemerintah seharusnya menghentikan sementara ekspor CPO sampai fenomena kelangkaan minyak goreng bisa diatasi.

Negara harus hadir untuk memperbaiki mekanisme pasar yang eksploitatif ini. Ketika negara menunjukkan ketidakmampuannya untuk mengutamakan kepentingan domestik dibanding kepentingan pasar global, hal itu menimbulkan kesan bahwa negara takluk kepada kekuatan pasar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus