Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kelonggaran untuk Pengusaha, dari KKSK

Konglomerat diberi kelonggaran pelunasan utang, agaknya dengan harapan agar modal mereka di luar negeri kembali ke Indonesia. Kapan ya pemerintah benar-benar jera?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH hal yang biasa dan wajar bila sewaktu-waktu terjadi ketegangan atau bahkan keretakan dalam hubungan antara pemerintah dan pengusaha. Keretakan mencuat ketika Presiden Theodore Roosevelt, misalnya, berusaha memereteli hak monopoli yang dimanfaatkan para robber baron di AS masa itu. Ketegangan juga terjadi antara pemerintah dan pengusaha keturunan Cina pada saat New Economic Policy diterapkan untuk pertama kalinya oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Malaysia. Hal yang penuh risiko bisnis seperti itu belum pernah terjadi di Indonesia. Hubungan pemerintah dengan konglomerat memang tidak lagi akrab, tapi juga tak bisa dikatakan retak. Padahal, di mata banyak orang, krisis ekonomi yang berkepanjangan sesungguhnya menawarkan momentum bagi pemerintah untuk memereteli bisnis konglomerat—kalau tidak seluruhnya, ya, sebagian. Bukankah setelah keguncangan politik biasanya muncul muka-muka baru—baik politisi maupun pengusaha—yang menandakan adanya perubahan, kebangkitan, dinamika? Nah, pikiran semacam itu jelas bertolak belakang dengan kebijakan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang pekan lalu mengimbau pengusaha besar agar mengembalikan uang yang selama ini diparkir di luar negeri. Imbauan ini jelas tidak dimotivasi oleh semangat untuk mengguncang, apalagi memereteli. Tak ada sesuatu yang menggebrak di situ. Yang sangat terasa adalah pendekatan yang simpatik (kepada konglomerat) dan kekhawatiran (yang disamarkan?) akan prospek ekonomi Indonesia tahun 2002. Imbauan Dorodjatun agar pengusaha memenuhi kewajibannya juga tidak terdengar galak. Padahal, kalau disuarakan secara tegas, itu pun wajar. Bukankah ia mewakili pemerintah, yang berperan sebagai kreditor, menghadapi konglomerat yang berstatus debitor? Kalau Pak Menko mengumbar sanksi, itu pun sah-sah saja. Lagi pula sebagian besar debitor tidak mematuhi kesepakatan untuk membayar 27 persen utangnya pada tahun pertama setelah pinjaman diterima. Secara legal, mereka seharusnya ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Kini proses hukum itulah yang tampaknya dihindari. Lalu, apa alasan yang mendasari sikap lunak itu? Wallahualam. Masyarakat hanya bisa menghubung-hubungkan imbauan Dorodjatun dengan kelonggaran yang dilimpahkan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)—yang juga dipimpin Dorodjatun—kepada konglomerat yang sama. Kelonggaran itu diumumkan sebelum imbauan yang simpatik itu digaungkan. Pada intinya KKSK memutuskan bahwa pembayaran utang konglomerat diperpanjang dari 4 tahun menjadi 10 tahun. Bunga utangnya pun diturunkan dari tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 9 persen. Khusus bagi konglomerat yang sudah membayar 25 persen, diberikan potongan utang alias haircut 25 persen. Sungguh tak masuk akal jika pemerintah masih bisa bermurah hati kepada debitor yang, selain membandel, tidak beriktikad baik melunasi utangnya. Lihatlah Sjamsul Nursalim yang "ngumpet" di Singapura, Prajogo Pangestu yang menunda-nunda re-strukturisasi utang Chandra Asri, Marimutu Sinivasan yang merengek minta utang baru, dan Grup Salim yang dicurigai membeli aset-asetnya kembali, sementara utangnya belum terlunasi. Memang tak disarankan di sini agar pemerintah memerangi konglomerat. Tapi cobalah bersikap proporsional. Dan janganlah berpura-pura meniru Sinterklas ketika negara terancam bangkrut. Juga sebaiknya tidak berilusi tentang pengembalian modal ke Indonesia. Sebab, jika konglomerat mau, hal itu sudah dilakukannya sejak dulu. Lebih dari itu, berusahalah untuk tidak panik. Sebab, kepanikan hanya membawa dampak negatif pada orang-orang biasa yang secara ekonomi sangat tidak berdaya. Beban rakyat sudah terlalu banyak, maka janganlah diperbanyak lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus