Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menteri Pendidikan Abdul Malik Fadjar: "Departemen Pendidikan Tidak Berhak Memonopoli Pendidikan"

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisa jadi, tahun ini merupakan masa terburuk dunia pendidikan Indonesia. Sejumlah lembaga riset pendidikan memberi nilai buruk kepada mutu sistem pendidikan, kualitas manusia, ataupun kemampuan dalam penguasaan materi. Departemen Pendidikan Nasional mewarisi beban yang sangat berat. Lihat saja penilaian UNDP (program pembangunan dari PBB), indeks pembangunan manusia Indonesia tahun ini menempati peringkat 102 dari 164 negara di dunia. Hasil survei The Political and Economics Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan dari Hong Kong, menilai sistem pendidikan Indonesia terendah di antara 12 negara Asia yang diteliti. Sementara itu, The Third International Mathematics and Science Study, yang dua tahun lalu meneliti 38 negara di lima benua, menempatkan Indonesia pada urutan ke-32 dan ke-34 untuk skor tes IPA dan matematika. Apa yang akan dilakukan Menteri Pendidikan? "Untuk mengejar mutu, masih sulit," kata Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar, 62 tahun. Menteri yang mengawali karirnya sebagai guru sekolah rakyat negeri di Kabupaten Sumbawa Besar, Nusatenggara Barat, ini malah melanjutkan tradisi di Departemen Pendidikan, "ganti menteri, ganti kurikulum". Soal keputusannya menerapkan kurikulum baru yang diberi cap "kurikulum berbasis kompetensi", pria kelahiran Yogyakarta ini menyitir pesan Rasulullah Muhammad saw, "Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah generasi yang lahir untuk masa depan." Kini, sekitar 40 juta pelajar Indonesia harus melahap kurikulum itu sebelum mereka memasuki dunia kerja. Bagi Malik Fadjar, dunia pendidikan bukan hal baru. Bapak lima anak ini hingga tahun lalu masih menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Sebelumnya, dia merangkap sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini pada masa pemerintahan Presiden Habibie menjabat sebagai Menteri Agama. Awal Desember lalu, Malik Fadjar menerima Agung Rulianto dari TEMPO di kantornya, Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta. Kepada TEMPO, dia menjelaskan soal kurikulum baru, anggaran pendidikan, prioritas kerja, serta harapannya pada pendidikan. Berikut petikannya.
Departemen Pendidikan menyiapkan kurikulum baru. Apakah Anda mau melanjutkan tradisi "ganti menteri, ganti kurikulum"? He... (bergumam, sambil senyum), pendidikan itu harus selalu dinamis dari fase ke fase. Sebab, perubahan itu menyangkut jumlah manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dulu, waktu Pak Fuad Hasan, kurikulumnya bernama relevansi. Zaman Menteri Wardiman, link and match. Yang kita siapkan sekarang, "kurikulum berbasis kompetensi". Apa maksudnya? Kita tak ingin terlalu ambisius dan membebani. Jadi, nantinya akan ada standar-standar minimal yang harus dipenuhi sekolah dalam meluluskan siswanya, sehingga lulusan dari sekolah mana saja memiliki penguasaan ilmu dasar yang kurang-lebih sama, kemampuan bahasa yang sama, keterampilan berhitung juga sama. Apa alasan mengubah kurikulum? Kritik paling tajam terhadap sistem pen-didikan Indonesia selama ini adalah bahwa ia kurang menarik, kaku, dan seragam. Penyeragaman yang terjadi sangat luar biasa. Sampai-sampai, untuk membangun infrastruktur, semua sekolah harus bertembok. Nah, kalau daerahnya penghasil bambu, buat saja dinding sekolahnya dari bambu. Seperti saat ini, mulai muncul konsep sekolah alam dan sebagainya. Nanti tak boleh lagi ada penyeragaman ter-hadap pendidikan, harus ada diversifikasi. Jadi, akan muncul berbagai jenis sekolah? Ya, sejak Indonesia lahir sudah tampak perbedaan dengan pendekatan diversifikasi, kultural, dan pluralitas. Dalam dokumen dialog founding father bangsa Indonesia saja sudah tampak. Misalnya, tak ada dikotomi antara pendidikan agama dan umum. Bahkan, saking tolerannya, pendidikan di Bali ya sesuai untuk orang yang beragama di Bali. Silakan saja. Apa yang harus dipenuhi sekolah untuk menjalankan kurikulum baru ini? Memang setiap perubahan kurikulum selalu menuntut kemampuan guru, fasilitas, dan kemampuan macam-macam. Pada umumnya orang selalu menyorotinya dari ganti buku, ganti ini-itu, dan sebagainya. Kesan-kesan itu harus dipahami secara utuh. Apakah berarti akan muncul proyek buku, sarana sekolah, dan segala macam? Sebetulnya proyek tak selalu jelek. Tapi konotasinya jadi negatif karena hubungannya dengan komisi. Kita punya cara yang berorientasi nonproyek yang kita sebut block grand. Jadi, bantuan kita serahkan dalam satu paket utuh. Tetapi akan tetap muncul beban baru bagi siswa dan wali murid? Yah... (pandangannya menerawang). Dulu saya juga mengalami perubahan tetapi tak pernah mengalami guncangan, karena semuanya gratis. Saat itu dari SD sampai SMA kita tak mengeluarkan uang satu sen pun. Tetapi dulu mencari anak yang mau sekolah kan susah. Kalau sekarang makin mahal karena pen-duduk makin banyak, sehingga daya tampung sekolah lebih besar dari sarana yang tersedia. Bukan karena anggaran pendidikan yang terlalu kecil? Ya..., itu termasuk. Harusnya anggaran untuk pendidikan itu 10 sampai 12 persen dari anggaran belanja negara. Untungnya, meski saat ini anggaran pendidikan hanya empat persen, dana dari masyarakat sangat besar. Masyarakat rela membayar untuk dunia pendidikan karena semua orang meyakini dana untuk pendidikan punya kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan generasi berkualitas di masa depan. Sayangnya, kepedulian itu baru di tingkat masyarakat. Mengapa pemerintah masih kurang peduli? Bukan karena itu. Saya bukan membela pemerintah. Saya akan berbicara realitas. Dari perjalanan bangsa selama 56 tahun, telah terjadi mobilitas sosial yang luar biasa. Dengan negeri yang begitu luas dan jumlah penduduk yang besar, tidak pas jika kita dibandingkan dengan Vietnam, dikaitkan dengan Tailand, atau disamakan dengan Malaysia. Itu kan alasan klasik? Itu harus kita akui sebagai masalah yang paling berat. Ambil contoh di Jakarta saja. Coba bandingkan pendidikan di daerah Menteng atau Kebayoran Baru dengan daerah di pinggiran Jakarta. Perbandingannya sudah seperti bumi dan langit. Kualitas guru di tempat elite dengan yang mengajar di pinggiran juga beda, kan. Apa prioritas Anda menghadapi tantangan tersebut? Saya akan menyegarkan kembali penerapan sistem pendidikan, dari yang sangat sentralistis menjadi desentralisasi, kemudian memberi peluang sebesar-besarnya kepada demokratisasi. Artinya, partisipasi masyarakat kita perbesar. Mereka berhak memilih dan menyelenggarakan pendidikan. Jadi, enggak ada jalur "verboden" untuk dunia pendidikan? Bebas semua. Misalnya, sekarang muncul distance learning atau tele-edukasi segala macam. Sekarang itu sudah tidak bisa dilarang lagi. Kondisi ini akan membuat pendidikan makin murah dan bisa dinikmati banyak orang. Jadi, aneh kan kalau melarang, wong di masyarakat juga sudah terjadi. Tapi kalau kita nyuruh juga diketawai orang. Wong enggak usah disuruh mereka sudah jalan sendiri. Jadi, tidak berhak sebuah lembaga memonopoli pendidikan. Fungsi departemen hanya memfasilitasi, melegitimasi, dan mencarikan akses-akses. Apakah tidak khawatir muncul lembaga pendidikan gurem yang hanya cari untung? Inilah yang akan kita ubah: image, pandangan, dan persepsi masyarakat terhadap pen-didikan. Saat ini kan orientasinya pada status sosial. Nanti, lebih pada keterampilan kerja atau life skill. Pengawasannya? Lebih diutamakan pada pengawasan publik. Jadi, aspek akuntabilitasnya diserahkan kepada masyarakat, civil society, pemerintah juga. Jadi, pemerintah tak akan menilai lagi akreditasinya? Betul. Kalau dulu kita yang turun dan menilai. Kita harapkan nantinya yang minta dinilai kualitasnya mereka sendiri. "Tolong, aku diakreditasi, berapa nilai mutu saya ini." Quality control-nya diserahkan kepada publik. Pemerintah hanya sebagai badan independen yang punya standar nasional dan internasional. Seperti di negara maju, akreditasi bukan hanya pada institusi dan operasionalnya. Seorang profesor pun nanti diakreditasi. Anda yakin sistem tersebut bisa berjalan? Sebetulnya secara tradisional sudah berjalan di Indonesia. Misalnya, kalau mau mondok atau mengaji, pilih kiai kawakan. Atau, kalau mau belajar pencak silat, pilih perguruan dari pendekar yang sakti. Kalau sudah begitu, nanti semuanya akan menjadi lincah. Jadi, kalau mau berguru ekonomi mereka pergi UI (Universitas Indonesia), kedokteran ke Unair (Universitas Airlangga), sosial-politik ke UGM (Universitas Gadjah Mada), pertanian ke IPB (Institut Pertanian Bogor), lalu teknik di ITB (Institut Teknologi Bandung). Untuk mengurangi beban masyarakat, komnas pendidikan mengusulkan membentuk lembaga pendanaan pendidikan. Bagaimana tanggapan Anda? Sebetulnya itu sebuah wacana yang sekarang sudah mulai bermunculan. Seperti usulan Mar'ie Muhammad saat masih menjadi Menteri Keuangan agar harga bensin dinaikkan satu rupiah untuk pendidikan. Kalau Indonesia ingin maju pendidikannya, harus berani melakukan itu. Bukankah saat ini ada dana kompensasi kenaikan BBM yang diberikan ke Departemen Pendidikan? Tahun ini sekitar Rp 833 miliar dipakai untuk beasiswa dan untuk membantu pendidikan di daerah-daerah miskin. Tapi itu hanya kompensasi untuk daerah yang tidak mampu. Manfaatnya memang sangat besar. Dan memang sebaiknya diberikan setiap tahun. Apa yang akan Anda tinggalkan jika masa jabatan selesai? Kalau kita bicara mutu, sulit. Kita berharap ada suasana yang lebih mengesankan dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jadi, tak akan terjadi lagi suasana dikotomi, polarisasi, atau uniformisasi. Nanti yang terjadi suatu proses yang lebih adil. Seperti janji kita di proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk itu harus dibuka kesempatan belajar seluas-luasnya. Tapi sekolah masih belum gratis, ya? Itu nanti otomatis, jika fasilitas pendidikan membaik. Dan pemerintah harus all-out untuk public school ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus