Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Departemen Pendidikan menyiapkan kurikulum baru. Apakah Anda mau melanjutkan tradisi "ganti menteri, ganti kurikulum"? He... (bergumam, sambil senyum), pendidikan itu harus selalu dinamis dari fase ke fase. Sebab, perubahan itu menyangkut jumlah manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dulu, waktu Pak Fuad Hasan, kurikulumnya bernama relevansi. Zaman Menteri Wardiman, link and match. Yang kita siapkan sekarang, "kurikulum berbasis kompetensi". Apa maksudnya? Kita tak ingin terlalu ambisius dan membebani. Jadi, nantinya akan ada standar-standar minimal yang harus dipenuhi sekolah dalam meluluskan siswanya, sehingga lulusan dari sekolah mana saja memiliki penguasaan ilmu dasar yang kurang-lebih sama, kemampuan bahasa yang sama, keterampilan berhitung juga sama. Apa alasan mengubah kurikulum? Kritik paling tajam terhadap sistem pen-didikan Indonesia selama ini adalah bahwa ia kurang menarik, kaku, dan seragam. Penyeragaman yang terjadi sangat luar biasa. Sampai-sampai, untuk membangun infrastruktur, semua sekolah harus bertembok. Nah, kalau daerahnya penghasil bambu, buat saja dinding sekolahnya dari bambu. Seperti saat ini, mulai muncul konsep sekolah alam dan sebagainya. Nanti tak boleh lagi ada penyeragaman ter-hadap pendidikan, harus ada diversifikasi. Jadi, akan muncul berbagai jenis sekolah? Ya, sejak Indonesia lahir sudah tampak perbedaan dengan pendekatan diversifikasi, kultural, dan pluralitas. Dalam dokumen dialog founding father bangsa Indonesia saja sudah tampak. Misalnya, tak ada dikotomi antara pendidikan agama dan umum. Bahkan, saking tolerannya, pendidikan di Bali ya sesuai untuk orang yang beragama di Bali. Silakan saja. Apa yang harus dipenuhi sekolah untuk menjalankan kurikulum baru ini? Memang setiap perubahan kurikulum selalu menuntut kemampuan guru, fasilitas, dan kemampuan macam-macam. Pada umumnya orang selalu menyorotinya dari ganti buku, ganti ini-itu, dan sebagainya. Kesan-kesan itu harus dipahami secara utuh. Apakah berarti akan muncul proyek buku, sarana sekolah, dan segala macam? Sebetulnya proyek tak selalu jelek. Tapi konotasinya jadi negatif karena hubungannya dengan komisi. Kita punya cara yang berorientasi nonproyek yang kita sebut block grand. Jadi, bantuan kita serahkan dalam satu paket utuh. Tetapi akan tetap muncul beban baru bagi siswa dan wali murid? Yah... (pandangannya menerawang). Dulu saya juga mengalami perubahan tetapi tak pernah mengalami guncangan, karena semuanya gratis. Saat itu dari SD sampai SMA kita tak mengeluarkan uang satu sen pun. Tetapi dulu mencari anak yang mau sekolah kan susah. Kalau sekarang makin mahal karena pen-duduk makin banyak, sehingga daya tampung sekolah lebih besar dari sarana yang tersedia. Bukan karena anggaran pendidikan yang terlalu kecil? Ya..., itu termasuk. Harusnya anggaran untuk pendidikan itu 10 sampai 12 persen dari anggaran belanja negara. Untungnya, meski saat ini anggaran pendidikan hanya empat persen, dana dari masyarakat sangat besar. Masyarakat rela membayar untuk dunia pendidikan karena semua orang meyakini dana untuk pendidikan punya kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan generasi berkualitas di masa depan. Sayangnya, kepedulian itu baru di tingkat masyarakat. Mengapa pemerintah masih kurang peduli? Bukan karena itu. Saya bukan membela pemerintah. Saya akan berbicara realitas. Dari perjalanan bangsa selama 56 tahun, telah terjadi mobilitas sosial yang luar biasa. Dengan negeri yang begitu luas dan jumlah penduduk yang besar, tidak pas jika kita dibandingkan dengan Vietnam, dikaitkan dengan Tailand, atau disamakan dengan Malaysia. Itu kan alasan klasik? Itu harus kita akui sebagai masalah yang paling berat. Ambil contoh di Jakarta saja. Coba bandingkan pendidikan di daerah Menteng atau Kebayoran Baru dengan daerah di pinggiran Jakarta. Perbandingannya sudah seperti bumi dan langit. Kualitas guru di tempat elite dengan yang mengajar di pinggiran juga beda, kan. Apa prioritas Anda menghadapi tantangan tersebut? Saya akan menyegarkan kembali penerapan sistem pendidikan, dari yang sangat sentralistis menjadi desentralisasi, kemudian memberi peluang sebesar-besarnya kepada demokratisasi. Artinya, partisipasi masyarakat kita perbesar. Mereka berhak memilih dan menyelenggarakan pendidikan. Jadi, enggak ada jalur "verboden" untuk dunia pendidikan? Bebas semua. Misalnya, sekarang muncul distance learning atau tele-edukasi segala macam. Sekarang itu sudah tidak bisa dilarang lagi. Kondisi ini akan membuat pendidikan makin murah dan bisa dinikmati banyak orang. Jadi, aneh kan kalau melarang, wong di masyarakat juga sudah terjadi. Tapi kalau kita nyuruh juga diketawai orang. Wong enggak usah disuruh mereka sudah jalan sendiri. Jadi, tidak berhak sebuah lembaga memonopoli pendidikan. Fungsi departemen hanya memfasilitasi, melegitimasi, dan mencarikan akses-akses. Apakah tidak khawatir muncul lembaga pendidikan gurem yang hanya cari untung? Inilah yang akan kita ubah: image, pandangan, dan persepsi masyarakat terhadap pen-didikan. Saat ini kan orientasinya pada status sosial. Nanti, lebih pada keterampilan kerja atau life skill. Pengawasannya? Lebih diutamakan pada pengawasan publik. Jadi, aspek akuntabilitasnya diserahkan kepada masyarakat, civil society, pemerintah juga. Jadi, pemerintah tak akan menilai lagi akreditasinya? Betul. Kalau dulu kita yang turun dan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo