ABOLISI memang bukan pengampunan, tapi jiwanya mengandung hal-hal yang bersifat ampunan. Salah satu hak prerogatif presiden ini adalah hak untuk menyatakan bahwa tuntutan pidana terhadap seseorang harus digugurkan. Presiden Megawati sekarang ini sedang mempertimbangkan pemberian abolisi untuk mantan presiden Soeharto. Alasannya sederhana, Soeharto menderita sakit yang tak memungkinkan kasus perkaranya dilanjutkan ke pengadilan. Alasan yang lebih mulia adalah Presiden ingin bangsa ini memperlakukan mantan pemimpinnya dengan tepat—sebuah alasan yang sulit untuk dirinci secara jelas dan berkeadilan.
Untuk alasan Soeharto sakit, hukum sudah mengatur hal itu secara jelas. Jika seorang tersangka sakit, perkaranya tidak harus dihentikan. Hakim di pengadilan negeri memang punya kuasa, tapi Tuhan Mahakuasa. Jika Tuhan memutuskan orang yang sakit itu menghadap-Nya, praktek hukum di Indonesia menggugurkan segala tuntutan. Tapi, jika kuasa Tuhan lain, si sakit disembuhkan, proses hukum bisa dilanjutkan kembali. Kita sesungguhnya punya doa yang sama agar tokoh seperti Pak Harto ini diberi kesembuhan, agar ia bisa mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat selama 32 tahun memimpin bangsa ini. Semua ini untuk kejelasan dan sangat bermanfaat bagi bangsa ini—juga bagi keluarga Pak Harto sendiri.
Pemberian abolisi untuk Soeharto bukanlah pendidikan hukum (dan politik) yang baik untuk masa depan Indonesia. Pengampunan kepada Soeharto harus diberikan setelah proses hukumnya selesai, dan jelas ujung pangkalnya, apa kesalahan dan seberapa besar salahnya. Syukur-syukur kalau kesalahan itu bisa digantikan dengan, misalnya, ganti rugi. Katakanlah Soeharto dinyatakan bersalah melakukan korupsi, lalu ia merelakan sebagian hartanya untuk ganti rugi, kita akan menaruh respek. Namanya manusia, kesalahan dan jasa-jasa selalu menyertai kehidupan ini.
Semuanya akan jadi mengambang jika abolisi diberikan. Akan muncul kesan bahwa Soeharto tak bersalah. Kalau salah, mengapa diberi abolisi? Mengapa tidak divonis dahulu baru kemudian dipertimbangkan pemberian grasi? Abolisi memunculkan preseden buruk di negeri ini: pemimpinnya tak bisa diadili kalau tiba-tiba dinyatakan sakit.
Alasan kemanusiaan tidak bisa dijadikan pembenar. Sebab, proses hukum di Indonesia sudah mengayomi "perikemanusiaan" itu. Kalau tersangka sakit, sidang peradilan tak bisa diteruskan, bukankah pertanyaan hakim yang pertama-tama dalam sidang adalah soal kesehatan tersangka? Lalu, kalau tersangka tiba-tiba dipanggil Tuhan, proses hukum pun gugur. Jelas dan transparan sekali. Jadi, sungguh tak masuk akal memberikan abolisi kepada Soeharto. Sebab, proses hukumnya otomatis akan selesai apa pun kehendak Yang Mahakuasa: jika tersangka diberi kesehatan dan umur panjang, proses hukum akan selesai di pengadilan; jika tersangka dipanggil Tuhan, proses hukum juga akan selesai. Jangan mendahului kuasa Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini