Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perang Ukraina turut mendorong kenaikan harga pangan, terutama gandum.
Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar di dunia.
Ketergantungan pada impor membuat Indonesia rawan akan dampak krisis gandum.
Yusuf Wibisono
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan di banyak negara, yang kemudian diperparah oleh perang Rusia-Ukraina, mendorong kenaikan harga pangan dunia, khususnya gandum. Di antara komoditas pangan strategis, gandum mengalami kenaikan harga paling drastis dalam enam bulan terakhir. Bila jagung dan kedelai “hanya” mengalami kenaikan harga hingga 30 persen antara Desember 2021 dan Mei 2022, gandum mengalami kenaikan hingga di kisaran 40 persen, dari US$ 377 per ton menjadi US$ 522 per ton. Dibanding harga sebelum masa pandemi Covid-19, yang hanya berada di kisaran US$ 200 per ton, harga gandum kini telah melonjak hingga 150 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketergantungan Indonesia pada pasar gandum global sangat tinggi. Pada 2021, Indonesia mengimpor gandum dalam jumlah signifikan, yaitu 11,2 juta ton dengan nilai US$ 3,45 miliar. Ketergantungan tinggi ini semakin berisiko ketika sumber impor hanya berasal dari segelintir negara. Pada 2021, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen berasal dari tiga negara, yaitu Australia, Ukraina, dan Kanada. Padahal kebutuhan gandum nasional sepenuhnya bergantung pada impor karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali.
Sejak diperkenalkan pada 1960-an, ketergantungan Indonesia pada pangan berbasis gandum dengan cepat melonjak. Dengan harga yang murah, gandum, yang merupakan bahan baku tepung terigu dan menjadi komponen utama makanan olahan seperti mi instan, roti, biskuit, aneka kue, hingga makanan gorengan, segera mendapat popularitas yang tinggi. Pada saat yang sama, produksi beras sebagai komoditas pangan utama terus mengalami stagnasi seiring dengan maraknya alih fungsi sawah dan rendahnya kesejahteraan petani padi. Dalam empat tahun terakhir, produksi beras Indonesia cenderung menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,4 juta ton pada 2021.
Ketergantungan Indonesia pada gandum mengkhawatirkan karena gandum sepenuhnya diimpor, dan sejak 2019 Indonesia telah bertransformasi menjadi importir gandum terbesar di dunia. Pada 1970-an, impor gandum hanya di kisaran 500 ribu ton, kemudian melonjak di kisaran 3 juta ton pada 1990-an, dan kini telah menembus 11 juta ton. Proporsi gandum sebagai makanan pokok (staple food) terus meningkat dari waktu ke waktu dan menggerus posisi beras. Pada saat yang sama, pola pangan lokal berbasis sagu, umbi-umbian, serta jagung semakin tergilas dan ditinggalkan.
Krisis pangan global pada 2008 memberi peringatan keras atas ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum. Hanya dipicu oleh jatuhnya produksi gandum global sebesar 3,9 persen, harga gandum melonjak sejak Mei 2007 dan puncaknya pada Februari 2008. Dengan volume impor gandum di kisaran 4,5 juta ton per tahun saat itu, harga gandum impor melonjak dari US$ 182 per ton pada 2006 menjadi US$ 439 per ton pada 2008. Hal ini terulang pada krisis pangan global tahun ini, ketika volume impor gandum telah menembus kisaran 11 juta ton per tahun dan kini harganya melonjak, dari US$ 377 per ton pada Desember 2021 menjadi US$ 522 per ton pada Mei 2022.
Selain karena perubahan budaya pangan, ketergantungan Indonesia yang tinggi pada impor gandum disumbang oleh perubahan produksi pakan ternak. Sejak 2016, terlihat pola yang konsisten ketika impor jagung jatuhnya diikuti oleh lonjakan impor gandum. Bila pada 2015 impor gandum baru mencapai 7,4 juta ton, pada 2016 angkanya melonjak menjadi 10,5 juta ton. Pada saat yang sama, impor jagung menurun drastis, dari 3,3 juta ton menjadi hanya 1,1 juta ton. Lonjakan impor gandum ini terjadi karena permintaan untuk pakan ternak. Perubahan tata niaga jagung dan mahalnya harga jagung memaksa pabrik pakan ternak yang selama ini mengandalkan jagung beralih ke gandum.
Untuk menekan dampak negatif dari ketergantungan tinggi pada impor gandum, dibutuhkan rekayasa permintaan pangan melalui penganekaragaman pangan lokal dan gaya hidup sehat. Pada era Orde Baru, atas nama swasembada, budaya pangan lokal serta daya dukung alam setempat banyak diabaikan dan kini nyaris hancur di era perdagangan bebas dan serbuan budaya pangan asing. Misalnya, pola pangan utama berbasis sagu, umbi-umbian, dan jagung di Papua, Maluku, Nusa Tenggara, serta Nias telah lama berganti menjadi pola pangan berbasis beras, bahkan gandum. Intrusi budaya pangan asing berbasis gandum, kentang, dan daging (westernization of diet), selain tidak sehat, menggerus kemandirian pangan dan mengancam budaya pangan lokal.
Pada saat yang sama, pendekatan liberal yang berfokus pada peningkatan produksi pangan dengan memberikan prioritas pada food enterprise dan akses ke pasar pangan global melalui impor pangan harus segera ditinggalkan. Kebijakan liberal ini mendorong hilangnya sawah serta pertanian skala kecil di Jawa dan berganti menjadi sawah dengan pertanian skala besar ala food estate (lumbung pangan) di luar Jawa. Kebijakan ini salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan nasional, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo