Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemberantasan Korupsi tak patut berlaku diskriminatif. Perang melawan korupsi harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi. Sebagai ujung tombak gerakan basmi korupsi, Komisi tidak perlu sungkan untuk bertindak.
Sayang, bukan sikap tanpa pandang bulu itu yang terlihat saat Komisi menetapkan Rusdihardjo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia 2004–2007, sebagai tersangka kasus korupsi pungutan liar. Yang terlihat malah perlakuan istimewa ketika mantan Kepala Kepolisian RI itu menjadi tersangka sejak Maret tahun lalu dengan tidak segera menahannya. Sulit untuk tidak mengatakan ada ”pilih bulu” ketika Komisi mengumumkan status tersangka Rusdihardjo setelah masa kepengurusan pertama Komisi berakhir.
Perlakuan Komisi terhadap Rusdihardjo sangat berbeda, misalnya dibandingkan terhadap Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri. Setelah tiga kali diperiksa sebagai saksi pengumpulan dana gelap pada 2006, ia langsung ditetapkan sebagai tersangka. Hari itu juga ia ditahan.
Theo F. Toemion, dua kali diperiksa pada Desember 2005 sebagai saksi kasus korupsi Tahun Investasi. Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal itu kemudian ditetapkan menjadi tersangka dan langsung ditahan.
Rusdihardjo dimintai keterangan sebagai saksi 1 Juni 2006. Ia dijadikan tersangka Maret 2007 dan Komisi baru sembilan bulan kemudian memeriksanya. Hingga kini pun Rusdihardjo masih bebas, meskipun dirawat di rumah sakit.
Jelaslah Komisi tidak menerapkan perlakuan yang sama pada semua. Secara normatif, menahan seseorang adalah hak penyidik, tentu setelah mempertimbangkan kepentingan penahanan itu. Tapi karena perbedaan perlakuan tadi, tidak berlebihan kalau publik menduga lambatnya penetapan status tersangka ini berhubungan dengan posisi Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK periode 2003-2007. Ruki adalah bekas bawahan Rusdihardjo di kepolisian.
Ruki mengatakan status tersangka Rusdihardjo tidak diumumkan demi menjaga hubungan internasional. Dia bilang pada Maret 2007, Rusdihardjo masih menjabat duta besar. Keliru. Rusdihardjo telah diganti dua bulan sebelumnya. Cukup mengherankan Ruki bisa salah tanggal begini. Tapi kalau pun Rusdihardjo masih aktif di posnya, apa sulitnya bersikap tegas demi penegakan hukum. Indonesia perlu menjaga hubungan baik dengan tetangga, tapi citra Republik akan berkilau justru kalau pemerintah membebastugaskan duta besarnya di negara mana pun yang diduga melakukan korupsi.
Penegakan hukum harus dilakukan dengan transparan, cepat, dan adil. Proses yang berlarut-larut tak hanya memberi kesempatan kepada tersangka untuk mencuci barang bukti, melainkan juga memperkecil kesempatan untuk mendapatkan kembali uang negara yang dikorupsi.
Indonesia punya pengalaman yang layak ditiru setengah abad silam. Roeslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri, siap berangkat memimpin delegasi Indonesia untuk konferensi internasional di London. Tiba-tiba, sepasukan tentara, yang diperintah Jaksa Agung Soeprapto, mencekalnya. Ia dituduh menerima duit siluman dari Percetakan Negara. Roeslan tak jadi berangkat dan harus menjalani proses hukum.
Ketegasan semacam itu dibutuhkan sekarang. Korupsi sukar dihabisi oleh penegak hukum yang berhati lembek dan banyak berdalih. Dalam kasus dugaan pungli perijinan para pekerja kita di Malaysia, Ruki atau Antasari, yang menggantikannya, seharusnya berani bicara jelas pada si tersangka: kalau bersalah, Anda tak punya tempat selain di penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo