Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini sedang menyelidiki dugaan praktek kartel dalam penetapan tarif short message service (SMS). Langkah ini patut didukung. Masalahnya, tarif SMS di Indonesia yang Rp 250 sampai Rp 350 tergolong mahal. Apalagi, menurut penelitian Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), biaya produksi untuk berkirim SMS hanya Rp 76. Kalau dimasukkan ongkos promosi dan keuntungan perusahaan, tarif SMS yang layak antara Rp 100 dan Rp 150.
Penyelidikan KPPU memang baru akan berakhir pada Maret mendatang. Kita berharap keputusan KPPU benar-benar berpihak ke konsumen. Ini menyangkut jutaan pemakai telepon seluler.
Sampai saat ini KPPU telah menemukan indikasi kuat adanya persekongkolan penetapan tarif. Komisi mendapatkan bukti adanya surat perjanjian antara Hutchinson CP Telecommunication Indonesia dan Excelcomindo Pratama (XL), yang diserahkan sendiri oleh pihak Hutchinson. Kemudian Bakrie Telecom meneken perjanjian dengan XL untuk menerapkan tarif SMS antar-operator tak kurang dari Rp 250. Perjanjian serupa terjadi lagi antara XL dan Mobile 8 serta Smart Telecom. Lalu, Telkomsel meneken perjanjian juga dengan Bakrie dan Smart Telecom. Kerja sama kait-mengait ini bukankah sudah bernama kartel yang merugikan konsumen?
Boleh saja Presiden Direktur Excelcomindo Hasnul Suhaimi membantah tudingan bahwa kesepakatan itu mengarah ke praktek kartel. Dalih Hasnul, bila tarif SMS tak imbang antara satu operator dan operator lainnya, akan terjadi penumpukan pengguna SMS di operator murah. Hal itu bisa mengganggu jaringan, katanya. Alasan ini menggampangkan masalah. Jika hanya menghindari penumpukan, kenapa tarif yang disepakati tidak mengambil yang murah saja? Misalnya Rp 100 per SMS, toh perusahaan sudah untung.
KPPU sekarang diuji untuk mengambil keputusan bijak. Jika dua operator terbesar-Telkomsel dan XL-bersekongkol melakukan perjanjian tarif, apalagi operator lain ikut bergabung, ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat. Pasal 5 undang-undang itu menyebutkan, "Setiap pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pesaingnya untuk menentapkan harga yang harus dibayar pelanggan."
Para operator itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan, "Konsumen punya hak memperoleh pelayanan baik dan membayar harga wajar atas produk barang dan/atau jasa yang digunakan." Pasal 7 mengatur kewajiban pelaku usaha, antara lain menekankan kewajiban melayani konsumen dengan benar dan jujur.
Apakah operator seluler sudah jujur? Kemajuan teknologi seharusnya membuat tarif SMS lebih murah. Tren global juga menyatakan demikian, karena pemakaian SMS terus melonjak. Di Asia, kawasan dengan pengguna layanan pesan pendek terbanyak, ada sekitar 1,5 triliun SMS dikirim pada 2007. Pada 2008 diperkirakan meningkat menjadi 1,7 triliun.
Memang, tak ada data khusus di Indonesia. Tapi, dengan melihat pengguna SMS di Asia, dan kebiasaan orang Indonesia yang gemar ngerumpi, sudah seharusnya konsumen mendapat pelayanan prima: tarif murah. KPPU berkewajiban melindungi konsumen dengan memutus jaringan kartel ini. Beri kebebasan operator menentukan tarifnya sendiri, tanpa persekongkolan. Seperti bunyi iklan yang justru dipakai pengelola jaringan seluler: kalau memang bisa murah, kenapa harus mahal? n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo