Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERANGAN peretasan (ransomware) yang sedang menimpa Pusat Data Nasional (PDN) membuktikan kegagalan pemerintah membangun sistem pertahanan digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tak berkutik dalam mengamankan sistem digital instansi pemerintah karena hampir setiap tahun kebobolan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peretasan Pusat Data Nasional terjadi sejak Kamis, 20 Juni 2024, dan baru diumumkan secara terbuka empat hari kemudian. Awalnya, Kementerian Kominfo hanya menyebutkan ada gangguan sistem PDN. Belakangan terungkap bahwa peretas disebut-sebut meminta tebusan ratusan miliar rupiah. Motif pemerasan ini serupa dengan serangan hacker bernama Bjorka yang berhasil mencolong data pribadi, di antaranya 34 juta data pemilik paspor Indonesia pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini, hacker yang belum diumumkan identitasnya itu menyusupkan ransomware anyar bernama brain cipher (brain 3.0). Virus penjebol data itu berhasil menembus Pusat Data Nasional yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Hingga hari ini, gangguan sistem di pusat data belum sepenuhnya pulih. Serangan ini melumpuhkan pelayanan 210 instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Gangguan paling parah terjadi di Direktorat Jenderal Imigrasi. Akibatnya, terjadi penumpukan di berbagai pintu masuk dan keluar negeri karena pemeriksaan keimigrasian terpaksa dilakukan secara manual.
Pembobolan ini bisa dihindari jika pemerintah serius membangun sistem pertahanan digital di dalam negeri. Sebab, selama ini keamanan digital masih dipandang sebelah mata. Hal ini tecermin dari semakin menurunnya anggaran keamanan siber pemerintah setiap tahun. Pada 2023, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp 120 miliar untuk keamanan siber.
Entah kenapa, pada 2021, anggaran keamanan siber sempat melonjak menjadi Rp 785 miliar. Tapi jumlah ini masih jauh lebih kecil dari anggaran Rp 80,9 triliun alat utama sistem senjata di Kementerian Pertahanan pada tahun lalu. Padahal salah satu ancaman terbesar di masa sekarang adalah perang siber. Bukan lagi semata perang konvensional.
Baca liputannya:
Sikap abai pemerintah sungguh janggal. Sebab, sejatinya Indonesia sudah darurat keamanan siber. BSSN mencatat ada 279,8 juta serangan siber ke Indonesia pada 2023. Tahun sebelumnya, jumlah serangan siber bahkan mencapai 370 juta. Jumlah itu diperkirakan meningkat tahun ini karena ratusan juta serangan distributed denial-of-service (DDoS) menyerang server Komisi Pemilihan Umum setelah pencoblosan pemilihan umum pada 14 Februari lalu. Itu sebabnya, SEON, salah satu perusahaan keamanan siber global, menempatkan keamanan digital Indonesia di urutan ke-62 dari 93 negara. Posisi Indonesia jauh berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Menghalau serangan siber tak cukup dengan menggelar patroli rutin yang selama ini dilakukan BSSN dan Kementerian Komunikasi. Pemerintah mesti membangun sistem yang komprehensif untuk mengamankan data nasional karena ancaman serupa pasti akan terus ada di masa depan.
Penting diingat, pihak yang menderita dari kegagapan pemerintah dalam menghalau serangan digital adalah masyarakat luas. Pelayanan publik menjadi kacau balau. Padahal salah satu kewajiban negara adalah memberikan jaminan keamanan bagi pengguna ruang siber di Tanah Air.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo