Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Metafora yang Melambung di Atas Gawang

Sejak dulu metafora senantiasa gentayangan dalam permainan sepak bola, bahkan dalam bahasa asalnya. Hanya, karena begitu intens merasuk pendengaran, kita hampir tidak lagi mengenali identitasnya.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Metafora yang Melambung di Atas Gawang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Hamidi*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RINDU betul saya kepada sepak bola Indonesia. Permainan pesepak bola kita khas. Semangat berkompetisinya juga menakjubkan. Selain tentang atraksi pemain yang terhidang di lapangan, koreografi yang dipertontonkan pendukung di tribune serta sorak-sorai dan yel-yel yang mereka dengungkan adalah hidangan pendamping yang tak kalah bikin rindu. Pokoknya sepak bola kita itu unik! Takkan bersepadan apabila diperbandingkan dengan kompetisi dari negara lain, apalagi negara-negara Eropa. Kelasnya jelas berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari setahun, sejak pertama kali negeri ini digebuk pagebluk, otoritas menyetop kompetisi olahraga nomor satu di Indonesia itu. Demikian pula kompetisi di belahan dunia lain, disetop otoritas setempat. Ketika kompetisi di negeri orang kembali tayang, kompetisi kita masih berwujud ancang-ancang. Mujurlah, Maret-April ini, yang dirindukan itu tiba, meski cuma berbungkus turnamen pramusim. Bola kembali bergulir. Sekalipun tribune melompong, sambil menatap layar kaca, saya masih bisa menyimak parole yang meluncur dari mulut komentator. Ini bagian dari hiburan juga, bukan?

Anda yang senantiasa menyaksikan pertandingan sepak bola nasional dari layar kaca tentu cukup akrab dengan frasa harmonisasi lini pertahanan, peluang emas 24 karat, prahara di rumah tangga, tendangan menembus langit, tendangan pelesiran, tendangan PHP, umpan membelah lautan, umpan mubazir, dan umpan sedekah. Konstruksi yang asing di pendengaran, tentu saja, pada awalnya. Ada penonton yang, sebagaimana saya, menganggapnya pendamping hidangan utama. Ada pula yang menuding komentator lebay, tidak mencerminkan perangai pembicara publik yang baik, bahkan ada perkataan: komentator tidak edukatif. Wajar saja beragam anggapan itu, karena nilai rasa berbahasa bersifat nisbi.

Linguistik mengenal istilah metafora, yaitu pengandaian konsep dari suatu ranah (source domain) ke dalam konsep pada ranah lain (target domain) berdasarkan persamaan di antara perbedaan-perbedaan yang dimiliki keduanya. Umpan membelah lautan, misalnya, mengandaikan konsep dari ranah geografi ke dalam ranah sepak bola—dalam hal ini merujuk lapangan. Apa kesamaan karakteristik antara lautan dan lapangan? Keluasan. Apabila operan dikirimkan ke sisi terjauh, operan tersebut diumpamakan membelah lapangan menjadi dua. Daripada umpan panjang/jauh, metafora ini lebih menggugah. Umpan sedekah dan umpan mubazir pun begitu, sama-sama berasal dari ranah moral untuk mengandaikan operan bola yang meleset. Bedanya, yang pertama bola jatuh di kaki lawan, yang kedua bola keluar dari arena permainan.


Sejak dulu metafora senantiasa gentayangan dalam permainan sepak bola, bahkan dalam bahasa asalnya. Hanya, karena begitu intens merasuk pendengaran, kita hampir tidak lagi mengenali identitasnya.



Metafora berfungsi mempercantik bahasa. Begitu gagasan klasik memandangnya. Ia mengandung estetika dan efek emotif. Peluang emas memang lebih dulu populer, tapi bahwa emasnya 24 karat, ya, baru komentator-kita ini yang memopulerkan; efek emotifnya berlebih. Kalau peluang emas 24 karat tidak bisa dimanfaatkan, itu berarti si pengeksekusi seorang PHP (pemberi harapan palsu). Tendangannya disebut tendangan PHP. Selain segar, metafora ini kontekstual dengan sosiolek remaja sezaman.

Dalam pergelaran Piala Menpora 2021, kita diakrabkan lagi pada metafora-metafora baru yang terasa lebih “nyeleneh” dan “kocak” daripada yang sudah-sudah, yang dalam kesempatan pertama barangkali membikin jidat kita berkerut, seperti gerakan polisi tidur, situasi bola karambol, karantina wilayah pertahanan, peluang sultan/hollywood/pondok indah, dan tendangan clickbait. Menabrak kelaziman, membikin sebagian kita berbisik “merusak bahasa” dengan bibir pencong, tapi justru di sinilah metafora mengaktualisasikan dirinya. Namun, seumpama tendangan, metafora juga bisa meleset apabila dipaksakan.

Sejak dulu metafora senantiasa gentayangan dalam permainan sepak bola, bahkan dalam bahasa asalnya. Hanya, karena begitu intens merasuk pendengaran, kita hampir tidak lagi mengenali identitasnya. Metafora yang begini, yang sudah kehilangan daya metaforis, disebut metafora mati, a dead metaphor—istilah ini pun metaforis. Tembakan, umpan, bola liar, bola mati, gol bunuh diri, haus gol, jantung pertahanan, mencetak gol, memerawani gawang, memetik bola di udara, merobek jala, mengancam lini pertahanan, palang pintu, penyerang tajam, sayap kanan/kiri, tembok pertahanan—ukuran rasa setiap orang berbeda-beda dalam menentukan metafora mati dan yang masih berdaya.

Bagi Lakoff (1986), metafora bukan sekadar soal “figure of speech”, tapi juga soal “figure of thought”. Kalau sekadar yang pertama, ia bisa dibuang. Kita boleh memilih berbahasa secara metaforis atau lugas, bukan? Metafora sebagai “figure of thought” merupakan kebutuhan guna mengungkapkan gagasan berdasarkan keterhubungan berbagai pengalaman yang terekam dalam pikiran. Dengan begitu, tidak mengherankan muncul metafora seperti tendangan tanpa amnesti, melakukan 362, gerakan 378, dan umpan gratifikasi. Amnesti, 362, 378, gratifikasi adalah konsep-konsep dalam bidang hukum, latar pengalaman (akademis) komentator-kita itu. Metafora takkan muncul dari konsep yang tidak dialami seseorang. Ia terikat budaya. Orang Islandia takkan bermetafora dengan konsep, misalnya, ilmu padi.

Sepak bola hambar tanpa metafora. Apa pun bentuk metaforanya, tak usah dipersoalkan betul. Toh, ibarat sayur yang diperdagangkan di pekan, metafora yang segar dan logis bakal laris dikonsumsi khalayak; yang layu dan rancu terbuang saja kalau bukan jadi pakan ternak.

*) ALUMNUS ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS INDONESIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus