Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keterlibatan perempuan dalam terorisme terus meningkat.
Perubahan tren tersebut dimulai sejak pengaruh ISIS menguat.
Dipelopori Bahrum Naim setelah ISIS merevisi pandangan lamanya.
PADA 28 Maret 2021, terjadi ledakan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. Dua puluh orang terluka. Hanya pelakunya yang tewas, tak ada korban jiwa. Belakangan terungkap bahwa pelaku serangan bom bunuh diri itu adalah pasangan suami-istri. Bom Makassar menambah panjang deretan kasus bom bunuh diri dengan pelaku keluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agama dan keluarga adalah dua pranata sosial yang terhubung secara komplementer. Agama memberikan rujukan makna dan nilai-nilai untuk keluarga. Agama hadir dalam momen kelahiran anak, pengasuhan, pacaran, pernikahan, hingga kematian. Dengan basis pandangan seperti itu, munculnya keluarga dengan tafsir agama yang berbeda, termasuk tafsir “garis keras”, adalah kenyataan wajar. Namun ketika satu keluarga (dalam unit yang lengkap) melakukan serangan bom bunuh diri dengan mengorbankan anak-anak mereka, terjadi lompatan kengerian yang membuat getir. Terbit pertanyaan: apa yang mendorong sebuah keluarga mengorbankan diri dan anak-anak mereka dalam bom bunuh diri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bom bunuh diri keluarga di Makassar bukan kasus baru di Indonesia. Yang pertama terjadi di Surabaya pada 13 Mei 2018. Bom Surabaya mengejutkan dan melampaui daya cerna kewarasan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah terorisme Asia Tenggara, serangan bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga inti yang lengkap: ayah, ibu, beserta anak-anak mereka.
Bahkan pendiri sekaligus penasihat Jamaah Ansharut Daulah, Aman Abdurrahman, pun terperangah akan kengerian bom Surabaya. Lompatan kengerian bom bunuh diri keluarga di Surabaya itu dideskripsikan secara ironis oleh Aman. “Kejadian dua ibu yang menuntun anaknya terus meledakkan diri di parkiran gereja adalah tindakan yang tidak mungkin muncul dari orang memahami ajaran Islam dan tuntunan jihad, bahkan tidak mungkin muncul dari orang yang sehat akalnya. Begitu juga dengan kejadian seorang ayah yang membonceng anak kecilnya dan meledakkan diri di depan kantor polisi, qadarullah si anak terpental dan alhamdulillah si anak terpental masih hidup. Tindakan tersebut merupakan tindakan keji dengan dalih jihad dan hisab,” kata Aman seperti dikutip Tempo.co pada 25 Mei 2018.
Wajar apabila Aman terkejut. Sudah lama para pejihad meyakini tidak ada kewajiban jihad bagi para perempuan. Salah satu sumber rujukan pendapat ini berasal dari Abdul Qadir Abdul Azis, seorang ulama Al-Qaidah asal Mesir. Dalam bukunya, Al Umdah Fie Idadul Udah, ia menyatakan jihad tidak wajib bagi wanita saat hukum jihad bersifat fardhu kifayah ataupun fardhu ain. Menurut dia, satu-satunya hal yang bisa membuat hukum jihad menjadi wajib adalah keadaan darurat ketika musuh menyerbu negeri muslim serta masuk ke rumah kaum muslim untuk merusak kehormatan perempuan. Maka, “Pada saat itu bagi wanita harus memeranginya sebagai pembelaan dirinya.”
Keyakinan ini dipegang kaum mujahid Indonesia cukup lama. Itu sebabnya selama 2002-2014 hanya ada enam perempuan yang terlibat tindak pidana terorisme. Itu pun mereka bukan sebagai pelaku aktif, melainkan lebih sebagai pelaku pasif. Misalnya Munfiatun, perempuan asal Malang, Jawa Timur, yang dipidana menikahi Noordin M. Top, buron teroris nomor wahid.
Situasi berubah setelah 2014, tepatnya pada era kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sejak era ISIS, hingga saat ini sudah lebih dari 40 perempuan pendukung ISIS terlibat tindak pidana terorisme di Indonesia. Peran mereka juga tak lagi pasif, dari ikut dalam perencanaan bom bunuh diri hingga menjadi pelakunya. Misalnya dalam kasus Yogi Safitri Fortuna, yang bersama suaminya, Lukman, menjadi pelaku serangan bom bunuh diri di Makassar. Dari segi ini, keliru apabila mengatakan perempuan semata-mata korban yang “digunakan” oleh kelompok teroris.
ISIS merevisi pandangan “lama” bahwa hukum jihad tidak wajib bagi perempuan. Di mata ISIS, jihad menjadi tidak wajib buat perempuan saat hukum jihad bersifat fardhu kifayah (wajib buat sebagian orang). Namun, ketika hukum jihad bersifat fardhu ain (wajib bagi semua muslim), perempuan pun wajib berjihad. Dalam pandangan mereka, hukum jihad menjadi fardhu ain ketika negeri muslim diserang musuh Islam. Di mata ISIS, saat ini negeri muslim diduduki orang kafir. Bahkan negeri khilafah yang dideklarasikan ISIS pada 2014 pun diserang koalisi anti-ISIS.
Dalam sejarah terorisme di Indonesia, orang pertama yang memprovokasi para perempuan pendukung ISIS menjadi pelaku serangan bom bunuh diri adalah Bahrum Naim, foreign terrorist fighter Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah pada 2015. Dialah orang yang merekrut Dian Yulia Novi, mantan buruh migran Indonesia di Taiwan, menjadi pelaku rencana aksi bom bunuh diri di depan Istana Negara pada akhir 2016.
Dian Yulia Novi direkrut dan kemudian dinikahi Nur Solihin, anak buah Bahrum Naim. Pasangan ini kemudian merencanakan aksi bom bunuh diri. Dalam kasus ini, hanya Dian yang akan dijadikan pengantin. Namun rencana aksi keji itu bisa digagalkan oleh Detasemen Khusus Antiterorisme 88 Kepolisian RI. Dian dan suaminya serta calon “pengantin” perempuan lain ditangkap sebelum mereka meledakkan bom bunuh diri.
Bahrum Naim terobsesi melibatkan perempuan dalam aksi teror yang disebut amaliah. Kenapa perempuan? Pertama, dia pernah bekerja sebagai wartawan di Solo, Jawa Tengah, sehingga mengerti betul bahwa sebuah aksi teror membutuhkan publikasi media agar bisa menyebarkan rasa takut yang meluas. Buat Bahrum, bom bunuh diri oleh pria sesuatu yang biasa.
Kedua, Bahrum jengkel terhadap para ikhwan pendukung ISIS yang lebih banyak berteriak-teriak di media sosial menyerukan amaliah tapi ketika diajak beraksi menghindar. Dia berasumsi, bila ada perempuan yang menjadi “pengantin”, hal itu bisa mengirimkan pesan provokatif bahwa perempuan saja berani berjihad.
Ketiga, aspek keamanan. Karena perempuan belum pernah terlibat dalam aksi bom bunuh diri, aparat keamanan cenderung tidak mencurigainya.
Dalam konteks ISIS, bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga juga bukan hal yang terlalu baru. Pada 2003-2004, kelompok teroris yang dipimpin Abu Musab al-Zarqawi memanfaatkan keluarga-keluarga kelompok teror yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak untuk melakukan berbagai serangan di daerah Zona Hijau (wilayah di Irak yang dikuasai Amerika Serikat). Mereka meledakkan diri menggunakan mobil dan berhasil membunuh banyak tentara Amerika.
Dari penjelasan tersebut, kita mendapat pemahaman bahwa:
Pertama, bom bunuh diri sekeluarga boleh dibilang merupakan tahap lanjut saja setelah pelibatan perempuan dan anak-anak sukses. Begitu anak-anak dan perempuan bisa dilibatkan secara aktif, aksi bom bunuh diri satu keluarga utuh lebih mudah. Bom bunuh diri keluarga memupus semua pandangan dominan mengenai fungsi keluarga konvensional yang meletakkan hidup dan kemaslahatan anak dalam perspektif masa depan keluarga.
ISIS memposisikan masa depan keluarga tidak lagi pada dunia kehidupan, melainkan pada transformasi total dalam kematian. Mereka meyakini suatu model pelampauan tempat struktur keluarga di dunia akan tereplikasi secara otomatis di “tempat lain” setelah kematian mereka. Bom bunuh diri adalah jembatan kebersamaan yang nostalgis. Melalui aksi itu, keluarga mengalami pemurnian paripurna. Inilah model ideal keluarga sakral ISIS.
Kedua, propaganda ISIS sejak awal memang ditujukan untuk memikat keluarga. Arus migrasi keluarga ke Suriah pada masa ISIS menunjukkan daya tarik ISIS bagi banyak keluarga.
Ketiga, lompatan kengerian dalam aksi bom bunuh diri keluarga adalah implikasi praktis dari ideologi-politik ISIS yang menghapuskan semua wilayah abu-abu dalam “perjuangan”. Penghapusan total wilayah abu-abu memberikan justifikasi untuk kekerasan yang brutal, termasuk dengan mengajak keluarga bunuh diri. Penghapusan ruang abu-abu yang diisi dengan ekstremitas tindakan menghasilkan kaburnya batas-batas hidup dan mati, rasional atau irasional, sadar atau tak sadar. Bagi orang awam, bom bunuh diri keluarga adalah kegilaan. Namun, bagi keluarga pelaku, bunuh diri adalah bagian dari perjuangan.
Keempat, bom bunuh diri keluarga juga merupakan implikasi logis metode comparative cruelty ISIS yang menganjurkan kekejaman dilakukan melebihi kekejaman lawan dalam rangka memberikan efek jeri dan mematahkan musuh potensial (Ahmad Dalla dalam The Political Theology of ISIS, 2017).
Dengan begitu bisa kita simpulkan bahwa keterlibatan keluarga dalam aksi bom bunuh diri tidaklah dipicu semacam manipulasi ideologis yang datang dari atas satu arah, melainkan hasil relasi timbal balik antara politik ideologi ISIS dan respons aktor-aktornya, termasuk perempuan dan keluarga. Asumsi yang mengatakan bahwa keluarga dan perempuan hanya dimanfaatkan oleh terorisme, selain keliru, bisa membuat kebijakan deradikalisasi salah sasaran.
Setelah era ISIS, keluarga mesti dilihat sebagai satu unit ideologi yang mampu membangun respons dan keterlibatannya sendiri dalam kekerasan. Implikasinya, analisis tentang risiko terorisme mesti juga diluaskan dari yang semula berbasis individual dalam kelompok menjadi berbasis keluarga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo