Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Basa-basi Satgas BLBI

Pengejaran aset pengutang BLBI tetap harus dilakukan dengan penegakan hukum. Mesti transparan dan tidak pilih-pilih.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jangan Basa-basi Satgas BLBI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATUAN tugas penanganan hak tagih negara dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dibentuk pemerintah semestinya tidak sebatas mengejar utang dan aset para pengemplang dana. Pemerintah tetap perlu mengutamakan penegakan hukum terhadap pemilik bank yang menggelapkan dana bantuan dari bank sentral pada akhir pemerintahan Orde Baru itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, pembentukan satgas ini terkesan hanya formalitas. Pemerintah membentuk organ ini agar tidak kehilangan muka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan kasus korupsi BLBI. Satgas ini diumumkan setelah komisi antikorupsi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penghentian perkara oleh KPK ini merupakan yang pertama kali. Kewenangan menerbitkan SP3 datang setelah Undang-Undang KPK direvisi pemerintah Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2019.

Kasus Sjamsul sempat disebut sebagai langkah awal membongkar skandal korupsi BLBI di sejumlah bank. Sjamsul disidik karena ditengarai merugikan negara Rp 4,58 triliun. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) miliknya--kini sudah bubar--menerima kucuran Rp 47 triliun bantuan likuiditas pada masa krisis. Ia membayarnya dengan menyerahkan aset bank, perusahaan, tambak udang, dan uang tunai. Belakangan terungkap aset tersebut bermasalah. Bantuan likuiditas bahkan dialirkan untuk kepentingan pemegang saham.

Sjamsul hanya satu dari sekian banyak pemilik bank yang menyelewengkan bantuan. Bank Indonesia mengucurkan dana sekitar Rp 147 triliun untuk menyelamatkan 48 bank yang sekarat pada krisis 1997-1998. Sebagian besar penyaluran kredit yang membuat bank-bank itu kolaps ditujukan kepada kelompok usaha sendiri. BDNI cabang Cook Islands, misalnya, mentransfer dana US$ 607 juta ke sepuluh perusahaan milik Sjamsul di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Penyelesaian BLBI kini memasuki babak baru. Pemerintah berharap Satgas Hak Tagih BLBI bisa mengembalikan uang negara senilai Rp 110 triliun dari pemilik 48 bank. Namun sesungguhnya tanpa kehadiran satgas pun pemerintah wajib mengejar uang negara yang disalahgunakan. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan pernah menghitung, dari kucuran dana BLBI, sekitar Rp 138,4 triliun diselewengkan. Skandal ini sudah lama terkatung-katung, tapi terlalu besar untuk dilupakan.

Masalahnya, pelacakan dan penagihan kredit dan aset obligor tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak sedikit aset yang telah diserahkan kini dikuasai pihak ketiga. Aset-aset milik obligor ini bahkan ada yang sudah berpindah ke negara lain. Situasi ini memaksa pemerintah harus lebih dulu meneken perjanjian mutual legal assistance (MLA) dengan negara tersebut. Dalam perjanjian MLA dengan Swiss, misalnya, Indonesia menghabiskan waktu berunding hingga 13 tahun. Pemerintah juga harus bisa menghadirkan unsur pidana di persidangan setempat agar bisa merampas aset dari sana.

Agar tidak menjadi pepesan kosong, tim bentukan Jokowi ini mesti memiliki target yang jelas. Semua proses harus transparan dan tidak tebang pilih. Semua nama obligor beserta jumlah yang hendak ditagih dibuka seluas-luasnya kepada publik. Dengan begitu, masyarakat bisa mengawasi dan menagih janji pemerintah. Mekanisme sandera badan bagi obligor yang membandel juga harus disertai dengan pelacakan aset terhadap keluarga yang terafiliasi.

Ancaman pidana bagi obligor yang tidak bersedia mengembalikan aset tetap harus dibuka, terutama bila ada unsur korupsi di kemudian hari. Proses ini sama pentingnya dengan mendapatkan kembali aset agar masuk ke kas negara. Pengejaran aset obligor BLBI tidak boleh menjadi pengampunan belaka, tapi uangnya tidak kembali ke negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus