Sewaktu W.S. Rendra ditanya tentang bisnis kepenyairannya, ia berdalih, "Walaupun sekarang telah bisa menghasilkan berjuta-juta rupiah dengan hanya membaca puisi dalam beberapa jam, sangkar emas tidak bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri." Lain Rendra lain pula Mohamad Sobary, yang merasa tidak aneh ketika mendengar Emha Ainun Nadjib menolak diberi kurungan baru yang hebat: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (TEMPO, 20 April 1991, Kolom). Dengan sedikit getir ia berkata "Kalau dia (Emha) masuk ke sana dan kawula macam saya (Sobary) ini juga masuk, secara moril maupun materiil Emha rugi ...." Jadi, baginya, kalau masuk ke dalam kurungan itu (ICMI) hanya mendatangkan kerugian saja. Entah mengapa begitu, mungkin karena berbekal jimat bahwa yang harus dicari itu esensi, bukan eksistensi. Tentu saja, esensi burung rajawali, burung nuri, burung beo, burung bangau, dan burung kakaktua berbeda satu sama lainnya. Meskipun Rendra sendiri mengaku sebagai burung rajawali, orang menjulukinya sebagai burung merak, kita pun tahu bahwa burung merak sangat indah, dan konglomerat pun mengerti bahwa keindahannya itu mempunyai pesona sebagai lahan bisnis. Mereka tidak bakal melewatkan keindahan burung merak menjadi loyo tanpa arti. Maka, mereka pun meliriknya dan memberikan sangkar emas agar eksistensi keindahan burung merak semakin berwibawa sekaligus mendatangkan keuntungan. Apakah itu adil? Mari kita menengok sebentar ke Jepang. Ternyata, masyarakat Jepang adalah masyarakat kurungan (kelompok). Bagi mereka, kehidupan kurungan lebih penting dari kehidupan isinya ( individunya). Itu tercermin bila orang Jepang berkenalan. Mereka akan menyebut kurungannya lebih dahulu sebelum menyebutkan isinya. Misalnya, seorang bernama Mayama dan bekerja di perusahaan Matsushita. Ketika berkenalan, ia akan mengatakan, "Saya dari perusahaan Matsushita, Mayama." Bila ia orang Indonesia, niscaya akan mengatakan "Saya Mayama dari perusahaan Matsushita." Nah, apakah ini menunjukkan bahwa sifat yang menonjol dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah peranan isinya, sedangkan Jepang kurungannya. Bagi orang Jepang, hidup akan berarti bila berada dalam kurungan. Sedangkan menyendiri adalah suatu penderitaan. Karena itu, mereka senantiasa menjaga dirinya agar tetap diakui dan diterima sebagai isi (anggota) kurungannya. Mereka selalu menjaga loyalitas terhadap kurungannya. Namun, untuk bisa masuk dalam kurungan yang baik, mereka tidak hanya cukup berucang angge sambil cuap-cuap. Mereka harus mempunyai reputasi yang tinggi, misalnya harus tamat dari sekolah yang top dan mempunyai peringkat yang tertinggi. Memang keadaan seperti itu menyebabkan orang Jepang sejak kecilnya sudah menghadapi suasana persaingan yang dahsyat agar bisa masuk ke dalam kurungan yang baik. Bagi mereka, kurungan yang baik hanya pantas diisi dengan yang baik pula karena kurungan mencerminkan isinya, dan sebaliknya. Mengingat hal itu, apakah kurungan made in Indonesia hanya asal kurungan? Atau, kita hanya pintar merakit kurungan tanpa mempedulikan kualitas dan isinya, sehingga banyak bermunculan kurungan yang asbun dan karbitan, yang dalamnya tiada lain kerjanya hanya gontok-gontokan memperebutkan pepesan kosong. Sudah waktunya kita mempunyai kurungan dan isinya yang baik, sehingga akan lahir keserasian yang pas seperti yang diserukan Nabi bahwa kurungan (lahir) dan isinya (batin) harus berjalan seiringan, baik esensi maupun eksistensi tidak boleh berlebihan. UGA PERTJEKA 27-7-106 Higashiyama-cho Ashiya Hyogo 659 Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini