NAMAKU Doris, kata wanita itu gementar. Namaku Doris
Calsoumbachri. Tuan jangan menuduhku. Jangan.
Itu semua terjadi pada suatu sore yang sepi di sebuah lapangan
golf. Wanita itu berumur 35 tahun. Ia berjalan sendirian tanpa
ditemani caddy di antara pohon-pohon yang rindang. Ia memanggul
tongkat golfnya, menguntit bola ke sudut yang agak remang oleh
rindang, dan tiba-tiba ....
Tiba-tiba, demikian kata yang empunya cerita, dari balik semak
di antara dua dahan yang rendah nampak sepotong wajah. Wajah
lelaki. Rambutnya ubanan, mukanya kurus, kumisnya lebat. Ada
yang agak kumuh dari wajah itu. Tapi ada yang menampilkan wibawa
besar di sana. Tiba-tiba ia mengingatkan nyonya Doris akan
seseorang. "Yahya Pembaptis!", teriak wanita itu kemudian
setengah tertahan.
Ia sebenarnya tidak pernah kenal dengan wajah Yahya Pembaptis
yang diceritakan dalam Injil dan pernah masuk dalam kisah film.
Tapi pandangan itu, sorot mata dari wajah yang tergantung
misterius di dahan pohon itu, memercikkan suatu kesimpulan di
dalam dirinya: pandang itu adalah pandang Yahya yang menistakan
seorang pendosa.
Anehnya, ia tak bertanya dari mana wajah itu datang, di mana
batang tubuhnya, dan apakah dia sendiri tak sedang mimpi. Wajah
itu malah seperti menyuruhnya bicara. Dan Ny. Doris terus saja
bicara.
"Kenapa tuan pandang aku dengan cara demikian? Apakah tuan telah
bergabung dengan orang-orang yang mau mengganggu ketenangan
kami? Misalnya menuduh tetek bengek kami penggemar golf? Tuan
tahu itu tak benar. Tuan tahu bahwa Allah tahu tetek bengek itu
tak adil. Saya . . . yah, jangan kaitkan itu dengan dosa.
Mengapa tuan memandangkw dengan cara demikian?"
"Namaku Doris Calsoumbachri. Aku tidak mau tuan tuntut. Aku tak
mau dituntut siapapun juga. Hidupku halal. Dunia teramat mudah
dijangkiti rasa iri. Iri hati itulah yang menerbitkan semangat
kompetisi dan perataan pendapatan. Iri hati itu sebenarnya benih
kapitalisme dan sekaligus sosialisme. Apakah tidak kacau? Tuan
tentu tak peduli."
"Orang hanya mau menyebabkan kami jadi defensif. Kami dipojokkan
dengan insinuasi terselubung, dan tak diberi posisi untuk
membela diri. Apakah sebabnya orang yang menggemari permainan
tertentu, misalnya golf ini, harus bersembunyisembunyi? Kenapa
orang-orang mencoba menghubungkan satu cabang olahraga dengan
soal keadilan, soal politik. Bukankah tak ada hubungannya?"
Untuk sejenak, Ny. Doris mencoba menanti jawaban, atau isyarat,
dari wajah itu. Beberapa detik tak ada suara. Hanya pucuk cemara
bergerak, tanpa menderu. Anehnya, di seluruh lapangan golf itu
yang ada hanya keluasan yang kosong, meskipun tetap indah, tetap
hijau.
"Tuan Wajah, apakah tuan mendengar saya?"
"Saya mendengarkan, nyonya Doris," tiba-tiba terdengar jawab
--hingga wanita pegolf yang memegang sticknya erat-erat itu agak
terloncat. Ketika ia mulai menyusun pikirannya kembali, wajah
itu sudah hilang.
Ny. Doris Calsoumbachri pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia berada di sebuah ruang ICU di
sebuah rumahsakit yang bersih. Apakah suaminya ada di sini,
menjenguknya? Juga anaknya7 Kawankawan searisannya? Tapi tak
terdengar suara siapapun. "Jangan-jangan aku sudah mati, dan ini
adalah akhirat," kata Ny. Doris kepada dirinya sendiri.
Pada saat itu di luar terdengar sejumlah suara bernyanyi
bersama, merdu: "Engkau juga yang menumbuhkannya, Tuhan, rasa
dosa."
Wah, ini betul-betul akhirat--atau dalam film, fikir Ny. Doris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini