"SAYA bicara dengan setan atau manusia?" seru jaksa Mappigau
lantang sambil menggebrak meja hijau di hadapannya. Padahal,
jelas, yang dihadapinya masih tetap: terdakwa Sawito
Kartowibowo. Hanya, dalam sidang kali itu, 7 Oktober lalu,
terdakwa memang mulai bersikap. Ia memprotes pengadilan yang
dianggapnya telah berjalan di luar rel hukum yang berlaku. Maka
itu Sawito memilih sikap: membisu. Pertanyaan dari hakim maupun
jaksa dibiarkannya meluncur tanpa dijawab.
Soalnya tak terlalu pelik. Setidaknya undang-undang, yang
dikutip Sawito maupun oleh para pembelanya, jelas menyatakan:
Sesudah semua saksi diperiksa, maka hakim memeriksa pesakitan
... (pasal 289 HIR). Dan itu masih berlaku. Tapi hakim, dalam
keputusan atas eksepsi terdakwa dan pembela, telah menolak cara
peradilan begitu. Alasan hukumnya memang tak nampak. Hanya
"kebiasaan baik yang dapat diteruskan," kata hakim. Dan
keputusan hakim, yaitu majelis hakim yang dipimpin oleh HM
Soemadijono SH, "tak dapat diganggu-gugat lagi," ujar jaksa.
Advokat Yap bilang: "Pemeriksaan terhadap terdakwa sebaiknya
jangan diteruskan karena ia tak mau bicara -buang waktu saja."
Tapi, "sudah ada keputusan hakim atas eksepsi," kata Hakim
Ketua. "Baik. Itu keputusan majelis, bukan hukum," jawab Yap
sambil kembali duduk. Dan kembali terdakwa Sawito menyambung
kalimat pembelanya. "Kalau pengadilan ini tak menjalankan hukum,
yaitu melaksanakan pemeriksaan saksi dulu, seperti ketentuan
undang-undang, bagaimana dapat mengadili saya?"
Alhasil pemeriksaan berlangsung terus. Pertanyaan bertubi-tubi
dilemparkan oleh haktm maupun jaksa. Para hakim bertanya sekitar
kehidupan Sawito dalam dunia spirituilnya: sejak kapan,
lelonobroto di mana saja, dengan siapa dan apa hasilnya. Soal
wangsit ratu adil, hakim ada menanyakan: "Bagaimana mengetahui,
wangsit itu suara malaikat atau dari iblis?" Sawito, begitu
menurut pemeriksaan terdahulu, pernah mengibarkan sang saka
merall putih secara terbalik di rumahnya. "Apa maksudnya?"
Tetap Gerrr
Tentang beberapa dokumen Sawito juga disinggung oleh hakim,
jaksa bertanya: "Konsep surat pelimpahan kekuasaan itu apa dasar
hukumnya? Apa tak merasa telah secara langsung menghina
Presiden?"
Jaksa, setelah melnaki terdakwa -dan telah diperingat kan oleh
hakim agar tak berlaku kasar lagi - kemudian mencoba menanyakan
sekitar hubungan Sawito dengan beberapa tokoh, seperti Dr Hatta,
Mr. Sudjono dan Ishaq Djuarsa. Sawito hanya menjawab: "Tanyakan
saja langsung kepada saksi, baru kepada saya." Malah terdakwa
juga tampak seperti menyindir jaksa dengan beberapa patah kata
yang tak begitu jelas. Namun sumber TEMPO menjelaSkan: "Sawito,
beberapa hari terakhir ini, memang didatangi oleh pihak di luar
pengadilan. Di depan jaksa sendiri Sawito mendapat peringatan,
agar tak usah terlalu membawa-bawa nama tokoh penting dalam
keterangannya di pengadilan. Bisa berabe."
Sidang kali ini tertib. Karena setiap lantai gedung pengadilan
di Jalan Gajahmada, Jakarta yang bertingkat dua itu diaga ketat.
Penonton yang memperoleh tanda pengenal khusus saja yan
dipersilakan masuk. Ini berkat pengalaman pada acara sidang
sebelumnya -- yang terpaksa dihentikan gara-gara penonton
terlalu menyesaki ruangan, pintu hampir saja jebol, dan sungguh
berisik. Namun dari ruang sidang masih juga terdengar gemuruh,
sorak sorai dan beberapa teriakan ratusan orang yang tak
mendapat kesempatan mengikuti peradilan secara langsung.
Apalagi ketika terjadi dialog terakhir antara jaksa dan
terdakwa. Begini. Jaksa bilang: "Melihat sikap terdakwa, ada
kelainan jiwa saat ini. Saya minta agar pengadilan memerintahkan
pemeriksaan kepada psikiater." Kontan Yap memprotes. Tapi Sawito
tenang menjawab: "Saya sudah diperiksa dokter. Jaksalah, sahabat
baik saya, anda yang harus diperiksa dokter. Setidaknya
bersama-sama." Sidang Sawito masih tetap gerrr!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini