Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kongres bahasa: untuk apa?

Kongres bahasa indonesia pertama diselenggarakan lebih bersifat sosial politis dari pada ilmiah. di dalamnya terhimpun semua wakil lapisan masyarakat. mereka, politikus, wartawan, usahawan, penerbit.

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari di tahun 1938, dua pemuda aktivis pers, Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo, saling bertanya. Bahasa Indonesia sudah berusia 10 tahun, tapi koran-koran di Indonesia belum memakai bahasa Indonesia, melainkan masih memakai bahasa Melayu pasar. Mereka sampai pada kesimpulan: perlu diadakan kongres bahasa Indonesia. Singkat kata, pada hari Sabtu 25 Juni 1938, pukul 20.00, di Societeit Habiprodjo Solo, dibukalah kongres itu, dipimpin oleh Dr. Poerbatjaraka, dan dihadiri sekitar 500 undangan. Banyak sambutan positif menanggapi kongres yang berlangsung sampai tanggal 28 Juni 1938 itu. Praeadvies Takdir Alisjahbana, mengenai cara mengatur bahasa Indonesia dengan lebih baik melalui buku tata bahasa yang baru, dianggap sebagai pembahasan yang sangat orisinal. Uraian Mr. Muh. Yamin dan Moh. Tabrani mendapat sambutan yang meriah karena kedua tokoh itu sangat pandai berpidato. Demikian pula pandangan para nasionalis muda, seperti Ki Hadjar Dewantara, Amir Syarifuddin, dan Sanusi Pane. Moh. Husni Thamrin, wakil rakyat di Volksraad, langsung menyatakan bahwa bahasa Indonesia akan dipakai oleh para wakil rakyat di dewan itu. Tapi ternyata hasil kongres hanya disimpan tak ada tindak lanjut lebih jauh. Cita-cita Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo supaya koran-koran memakai bahasa Indonesia tak segera terlaksana (bahkan sampai tahun 1960 pun masih saja ada koran dan majalah yang memakai bahasa Melayu pasar, atau lebih dikenal sebagai bahasa Melayu Cina). Bahkan sesudah kongres pun banyak cendekiawan yang masih suka bertutur Belanda banyak yang lebih hafal nyanyian Belanda daripada Indonesia surat cinta pun mereka tulis dalam bahasa Belanda. (Mereka baru terpaksa berbahasa Indonesia setelah Jepang datang menjajah negeri ini karena Jepang melarang bahasa Belanda dan Inggris.) Malah, dalam kongres bahasa Indonesia di Medan pada tahun 1954, kongres bahasa pertama itu tak disebut-sebut. Segala sesuatu tentang Kongres Bahasa Indonesia I ini baru ''ditemukan kembali'' sekitar tahun 1970, ketika para peneliti Fakultas Sastra Universitas Indonesia menyelidiki latar belakang sejarah ejaan bahasa Indonesia. Begitulah nasib Kongres Bahasa Indonesia Pertama. Dan inilah satu-satunya kongres bahasa yang diprakarsai oleh swasta. Pada tahun 1954 seperti disebutkan di atas diselenggarakanlah kongres bahasa Indonesia di Medan kali ini oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Banyak prasarannya, banyak sambutan yang menanggapinya, dan banyak keputusannya. Dari sudut perkembangan bahasa kita, itu semua saya nilai sangat orisinal dan bermutu, tapi realisasinya tidak sebanding dengan apa yang dibahas dan diputuskan. Karena perkembangan politik, sebagian besar hanya menjadi keputusan di kertas. Dan baru pada tahun 1979 diselenggarakan kongres yang ketiga, dan demikian seterusnya setiap lima tahun. Inti tujuannya memelihara dan meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia dan mencari jalan keluar bagi segala masalah yang dihadapi bahasa nasional kita semua itu tentu saja dalam rangka mengabadikan semangat Sumpah Pemuda. Tercapaikah tujuan itu? Kalau tercapai, mengapa setiap lima tahun harus diadakan kongres bahasa Indonesia, dan mengapa pekan ini juga diselenggarakan kongres yang ke-6? Apa saja masalah yang dihadapi bahasa nasional kita? Seorang teman sejawat, ahli linguistik bangsa Amerika, ketika hadir dalam salah satu kongres bahasa Indonesia, pernah mengatakan, tidak pernah ada kongres bahasa Inggris. Benar, karena tak ada perlunya: bahasa Inggris tidak pernah menjadi alat pemersatu suatu bangsa yang harus memerdekakan diri dari penjajah. Jadi, masalah yang dihadapi sangat berlainan. Kongres bahasa Indonesia sejak pertama kali diselenggarakan memang lebih bersifat sosial politis daripada ilmiah. Di dalamnya terhimpun semua wakil lapisan masyarakat, bukan hanya para ahli bahasa, melainkan juga politikus, wartawan, usahawan, penerbit, pemuda, dan lain-lainnya. Jadi, topik yang dibahas pun sedikit sekali yang menyangkut soal-soal teknis bahasa dan sastra, sebab forum untuk itu tersedia di tempat lain. Masalah yang dibahas dalam kongres pun berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain. Dalam kongres I, masalah umum mendominasi pembahasan karena yang dihadapi adalah masa depan bahasa Indonesia dalam alam kemerdekaan. Kongres II didominasi oleh penggunaan bahasa di media massa, dan dalam hukum. Dalam kongres yang kemudian, yang banyak dibahas adalah masalah pemakaian bahasa dalam masyarakat, masalah standardisasi bahasa, dan masalah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Nah, masalah apa sajakah yang dihadapi bahasa kita dewasa ini? Harus diakui bahwa perkembangan dunia dewasa ini memberi pengaruh yang kuat terhadap bangsa dan negara kita. Terasa ada perubahan dalam sikap masyarakat, khususnya masyarakat kota besar, terhadap sejarah bangsa. Walaupun belum jelas apa yang dimaui orang bagi masa depannya, di luar keinginan untuk hidup lebih sejahtera secara materiil, terasa ada pergeseran dalam menilai idealisme dan patriotisme. Pengaruh dan perubahan itu paling nyata dalam penggunaan dan sikap terhadap bahasa persatuan kita. Bahasa Indonesia diperlakukan tidak lebih dari bahasa lain, sekadar alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi pun bahasa kita dianggap kurang berwibawa dibandingkan dengan bahasa internasional, bahasa Inggris. Lebih parah dari itu: orang meremehkannya dengan sengaja berbahasa secara tidak rapi. Kurang disadari bahwa penyatu bangsa adalah fungsi bahasa kita dahulu, sekarang, maupun yang akan datang. Menjadi identitas bangsa pun merupakan fungsinya untuk masa-masa yang akan datang. Tanpa kepribadian, bangsa kita hanya akan menjadi objek yang mudah tersingkir dalam percaturan dunia. Namun, menyadari saja tidak cukup, harus didukung dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik. Dalam kongres bahasa Indonesia pekan ini, tentunya pembahasan tentang bahasa akan berkaitan erat dengan perumusan strategi bangsa kita dalam menyiapkan diri menjadi subjek dalam perkembangan dan perubahan dunia. *)Penulis adalah guru besar Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus