Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembelajaran tatap muka di sekolah memicu kenaikan angka kasus Covid-19.
Harus ada prosedur penanganan yang efektif dan efisien atas kasus Covid-19 di sekolah.
Kurikulum perlu dirumuskan kembali untuk mengakomodasi pembelajaran tatap muka dan daring.
Cecep Darmawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Ilmu Politik dan Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Program Magister dan Doktor UPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi Covid-19 belum berakhir. Meski di berbagai daerah angka kasus Covid-19 sedang mengalami penurunan, kondisi sebaliknya justru terjadi di lingkungan pendidikan. Hal ini terjadi setelah penerapan pembelajaran tatap muka secara terbatas di berbagai daerah. Contoh kenaikan angka kasus yang cukup signifikan ialah di Kota Bandung. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, hingga Jumat, 29 Oktober 2021, terdapat total 243 siswa dan guru yang dinyatakan positif Covid-19. Akibatnya, beberapa sekolah di kota itu akhirnya memutuskan untuk kembali melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Persoalan ini tentu perlu diwaspadai. Jauh-jauh hari, dampak dari pembelajaran tatap muka ini sudah diperingatkan oleh berbagai pihak. Salah satunya disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebagaimana dilansir dari Tempo.co (29 Agustus 2021). Organisasi ini menyampaikan sepuluh pandangan mengenai pembelajaran tatap muka secara terbatas. Mereka menyarankan, antara lain, agar pembelajaran tatap muka dimulai secara bertahap dan diikuti oleh anak usia 12-17 tahun yang sudah divaksin Covid-19. Orang tua diberi kebebasan untuk mengizinkan atau tidak anaknya masuk sekolah. Keputusan pembukaan sekolah ditetapkan oleh masing-masing daerah berdasarkan kasus aktif Covid-19 di daerahnya. Pemerintah setempat dan sekolah juga harus transparan dalam menampilkan data kasus Covid-19 pada anak.
Sejak awal, rencana pembelajaran tatap muka ini telah memicu kontroversi. Pemerintah tetap jalan terus dengan mengeluarkan sejumlah peraturan mengenai mekanismenya. Untuk menyamakan persepsi mengenai regulasi ini, perlu dialog antara pemerintah, pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua. Di samping itu, terdapat sejumlah catatan penting yang harus diperhatikan.
Pertama, masih banyak orang yang memandang pembelajaran tatap muka ini seperti sebelum pandemi. Hal ini tentu sangat berbahaya dan dapat menciptakan kluster baru. Pembelajaran pada masa pandemi belum dapat diselenggarakan secara normal. Proses pendidikan pada masa pandemi mengalami disrupsi, sehingga harus tetap mempertahankan model blended learning, yakni menggabungkan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh atau daring. Karena itu, perlu sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat agar mereka memahami hal ini.
Kedua, perlu dialog antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan pemerintah daerah untuk menyamakan persepsi mengenai implementasi kebijakan pembelajaran tatap muka serta prosedur standar penanganan jika terjadi kasus Covid-19 di sekolah. Banyak hal yang harus mereka diskusikan, terutama menyangkut prosedur standar penanganan yang efektif dan efisien atas kasus Covid-19 di sekolah. Perlu pula pembagian peran antara Kementerian dan pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19 di sekolah. Ini termasuk bantuan dari APBN dan APBD untuk keperluan infrastruktur kesehatan, seperti tes usap (PCR), vaksinasi, dan pemberian vitamin bagi para siswa.
Ketiga, pengawasan secara periodik oleh berbagai institusi, baik Satuan Tugas Covid-19, dinas kesehatan, dinas pendidikan, sekolah, maupun komite sekolah. Keempat, kurikulum darurat pandemi pun harus segera dirumuskan ulang agar pembelajaran tatap muka dapat berjalan efektif. Perlu adanya kurikulum yang berdimensi blended learning secara terukur, sistematis, dan dapat diterapkan.
Kelima, untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran tatap muka, perlu kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama dari seluruh elemen pendidikan, baik pemerintah sebagai pemangku kebijakan, sekolah, maupun masyarakat. Libatkan orang tua, komite sekolah, guru, dan elemen lainnya dalam merumuskan kebijakan pembelajaran tatap muka pada masa transisi. Bahkan, misalnya, sekolah dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan melibatkan sektor swasta untuk membantu penyediaan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Berbagai upaya di atas dapat menjadi ikhtiar agar para peserta didik tidak kehilangan hak-haknya untuk mendapat layanan pendidikan dengan tetap mengutamakan prinsip kesehatan dan keselamatan. Hal ini juga akan mengurangi kekhawatiran berbagai pihak, khususnya orang tua, dan menciptakan kondisi yang mendukung pembelajaran tatap muka. Dengan begitu, upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berjalan secara berkelanjutan meski di masa krisis sekali pun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo