Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN Presiden Joko Widodo menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai dan menggantinya dengan pembayaran denda merupakan langkah mundur. Aturan baru yang terbit menjelang masa kampanye Pemilu 2024 ini juga patut dicurigai menyimpan konflik kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Jokowi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara, yang berlaku efektif per 22 November 2023. Regulasi ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berdalih penerapan sanksi administratif—berupa denda sebesar empat kali lipat—akan lebih efektif menimbulkan efek jera ketimbang pidana kurungan atau penjara. Pertimbangan lain, upaya ini diyakini dapat memberi manfaat bagi peningkatan penerimaan negara.
Berbagai alasan itu malah menunjukkan sesat pikir di balik regulasi ini. Sebab, tujuan penerapan cukai adalah mengatur konsumsi barang-barang yang berbahaya dari aspek lingkungan serta kesehatan, seperti rokok dan minuman beralkohol. Artinya, salah sasaran jika instrumen ini dipakai untuk mendongkrak pendapatan negara.
Dari data realisasi penerimaan negara sampai Oktober 2023, jelas bahwa pemerintah perlu putar otak untuk mendongkrak pendapatan. Penerimaan cukai tahun ini, misalnya, diprediksi tidak memenuhi target. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hingga Oktober 2023 baru sebesar Rp 169,77 triliun, atau sekitar 69,17 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 senilai Rp 245,45 triliun. Realisasi penerimaan cukai turun 4,14 persen secara tahunan (year-on-year).
Jika dianalisis lebih dalam, kebijakan terbaru Jokowi ini tampaknya mirip amnesti cukai atau pengampunan cukai. Prinsipnya sama seperti pengampunan pajak atau tax amnesty yang digelar Jokowi beberapa tahun lalu. Pelaku pada prinsipnya harus mengakui kesalahan dan menghapus "dosa" dengan membayar denda yang nilainya beberapa kali lipat.
Terlebih, hukum cukai dan pajak memang memegang prinsip ultimum remedium. Artinya, suatu perkara dapat diselesaikan melalui banyak jalur, seperti hukum perdata ataupun hukum administrasi. Masalahnya, mekanisme semacam itu seharusnya tidak menghilangkan unsur pidananya, melainkan mempercepat penyelesaian kasusnya.
Apalagi aturan baru penghentian penyidikan pidana cukai dan menggantinya dengan denda administrasi ini mendadak muncul setelah terbongkarnya persekutuan jahat impor emas Siman Bahar. Kesamaan waktu ini justru memicu kecurigaan. Selain menunjukkan inkonsistensi atas penegakan hukum, hal ini membuka celah baru terjadinya kongkalikong antara aparat penegak hukum dan Siman Bahar untuk mendapatkan denda seminim mungkin.
Walhasil, karena lebih banyak mudaratnya, regulasi baru ini mending dibatalkan saja. Penegakan hukum pidana di bidang cukai penting ditegakkan. Aparat bea dan cukai bisa mengadopsi teknologi, memutakhirkan sistem, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia supaya proses penyidikan bisa lebih cepat. Perbaikan tata kelola itulah yang semestinya dilakukan, bukan malah mengumbar ampunan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo