Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA diibaratkan makhluk, korupsi merupakan jenis luar biasa ekstrem: beranak-pinak secara radikal dan melibas ke segala arah. Begitulah yang bisa terlihat dari proses peradilan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dari sidang ke sidang, ada saja hal baru terungkap, dan tiap hal baru menerbitkan isu yang merambah ke mana-mana. Begitu pula yang tersirat dari perkara mantan anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati.
Lebih dari sekadar isu, dari proses pemeriksaan Muhammad Nazaruddin tersingkaplah selingkuh rasuah yang tidak hanya mencoreng citra Partai Demokrat, tapi juga politikus partai lain, berikut lembaga Kejaksaan Agung. Aliran dana dari perusahaan Nazaruddin, ternyata, menyebar ke banyak alamat. Dalam babak baru ini tersebutlah proyek pembangunan Kawasan Pusat Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Terpadu Sumber Daya Manusia, Kejaksaan Agung, di lingkungan Ceger, Jakarta Timur.
Perusahaan Nazaruddin ditengarai ikut bermain dalam proyek pembangunan gedung dan lahan parkir di Kejaksaan Agung. Dari penelusuran kasus ini tampillah dua nama baru: Azis Syamsudin dan Iskamto. Yang pertama adalah politikus Partai Golkar yang menjabat Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun nama kedua dikenal sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan. Kedua nama ini "menyembul" dari transkrip pembicaraan antara Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang, mantan Direktur Pemasaran PT Anak Negeri, salah satu anak perusahaan milik Nazaruddin, yang telah divonis dua setengah tahun penjara dalam perkara suap proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang.
Dalam jabatan Wakil Ketua Komisi Hukum, yang merupakan mitra teknis Kejaksaan Agung, Azis memiliki wewenang dalam pembahasan anggaran Kejaksaan Agung, sebelum diajukan ke Badan Anggaran. Sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Iskamto terlibat dalam proses pengegolan proyek, karena dialah yang membawahkan Biro Perencanaan yang, antara lain, mengurus pembangunan. Dalam persekongkolan segitiga ini, Nazaruddin bertindak sebagai "pembeli" anggaran, yang kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Lewat jaringannya, Nazaruddin memilih dua perusahaan untuk menggarap proyek tersebut.
Permainan ini melibatkan uang jutaan dolar Amerika Serikat, jumlah yang tentu saja besar bila dimanfaatkan untuk proyek kemanusiaan. Tapi besaran uang itu masih belum seberapa bila dibandingkan dengan kerusakan tatanan birokrasi dan perangkat penegakan hukum. Azis, menurut sumber yang dekat dengan Nazaruddin, berperan sebagai "telangkai" sekaligus pemeran aktif dalam mengegolkan anggaran Kejaksaan Agung, tentu dengan kompensasi yang tidak kecil dari Nazaruddin—pihak yang menentukan pelaksana proyek.
Membongkar kasus persekongkolan ini merupakan kewajiban mutlak para perangkat pemberantasan korupsi. Persekutuan "tiga kaki", antara "pengusaha hitam", anggota lembaga legislatif, dan pejabat yudikatif, merupakan kolusi yang sangat mengkhawatirkan karena menyangkut lembaga-lembaga fundamental yang sangat diandalkan dalam penegakan hukum dan demokrasi. Korupsi yang memasuki wilayah birokrasi tidak hanya merupakan akibat kebusukan panjang penyalahgunaan wewenang, tapi juga cermin demoralisasi yang fundamental. Ketika korupsi di wilayah birokrasi itu bergandengan tangan dengan perangkat legislatif, daya rusaknya bisa mencapai ambang suntuk.
Dalam penanganan empat perkara yang melibatkan perusahaan milik Muhammad Nazaruddin, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung berbagi tugas. Keempat perkara itu adalah dugaan korupsi pengadaan laboratorium di lima perguruan tinggi negeri, pengadaan alat vaksin flu burung, pengadaan komputer dan laboratorium madrasah di Kementerian Agama, serta pengadaan peralatan riset dan laboratorium rumah sakit di Kementerian Kesehatan. Keempat perkara ini melibatkan perangkat birokrasi, bahkan yang berurusan dengan kerohanian.
Pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan pembagian tugas ini dilakukan demi efektivitas dan efisiensi, sekaligus menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi. Komisi, demikian didalihkan, tidak akan mungkin menangani semua perkara yang—dalam kenyataannya—muncul runtun-beruntun. Secara teknis, dalih ini tak sepenuhnya keliru. Tapi masalah pemberantasan korupsi tidaklah semata-mata masalah teknis. Urusan korupsi merupakan pekerjaan "ekstra-teknis" yang melibatkan kesungguhan fundamental dan esensial.
Persekongkolan "Tiga Kaki" ini, misalnya, semestinya tidak bisa diserahkan ke Kejaksaan Agung. Sulit sekali dipercaya lembaga itu kalis dari konflik kepentingan. Komisi Pemberantasan Korupsi harus sepenuhnya menangani perkara ini. Dengan sesungguh-sungguh iktikad dan sepenuh-penuh keberanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo