Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Agenda Terselubung Komisi Hukum

Pembentukan Panitia Kerja Putusan Mahkamah Agung bisa mengintervensi kekuasaan kehakiman.

12 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEGISLATOR di Senayan tak henti-hentinya berupaya melampaui batas. Kecenderungan ini tampak ketika Dewan Perwakilan Rakyat membentuk panitia kerja yang bertugas mengkaji putusan-putusan Mahkamah Agung. Selain tak ada urgensinya, berabe jika organ yang baru dibentuk Komisi Hukum di DPR ini mencampuri otoritas lembaga yudikatif.

Panja Putusan Mahkamah Agung berpotensi menerabas pagar. Padahal kekuasaan kehakiman harus steril, independen, dan bebas dari pengaruh siapa pun, sebagaimana dijamin pasal 24 ayat 1 konstitusi kita. Dewan boleh mengkritik dan memberi masukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atawa in kracht van gewijsde verklaard, tanpa harus mengangkat dirinya sebagai pengawas sesama lembaga tinggi negara.

Kalaupun para legislator itu kecewa terhadap putusan di benteng terakhir lembaga peradilan, kanalnya sudah tersedia. Para politikus di Komisi Hukum itu seharusnya tinggal meminta Komisi Yudisial, yang selama ini sudah menjadi mitra kerja mereka, melakukan evaluasi. Kendati banyak putusan di pengadilan negeri hingga di pucuknya, Mahkamah Agung, bermasalah dan mengusik rasa keadilan, hal ini bukan lantas dijadikan alasan pembenar untuk mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum.

Sistem ketatanegaraan kita sudah jelas mengatur bahwa Mahkamah Agung tidak bertanggung jawab kepada DPR, sekalipun anggota Dewan yang menyeleksi para hakim agung. Jadi, semangat pengawasan tak perlu dipadamkan, tapi eksekusinya jangan salah kamar. Sekali lagi, pengawasan lembaga kehakiman bisa dilakukan melalui Komisi Yudisial, yang salah satu tugas utamanya memonitor secara intensif kekuasaan kehakiman serta mengawal kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan.

Pembentukan Panja bukan mustahil sarat dengan agenda terselubung: politisasi terhadap putusan kehakiman. Kerap kali dalam rapat-rapat dengar pendapat antara anggota Dewan dan lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung, terdengar pertanyaan tentang perkara yang melibatkan anggota DPR atau pengurus dan kader partai politik. Apalagi belakangan ini kian banyak anggota Dewan yang tersangkut kasus korupsi.

Menghentikan sesegera mungkin kegiatan Panja yang tak ubahnya polisi putusan Mahkamah Agung ini justru membantu DPR membersihkan citranya yang kian babak-belur. Dewan akan terbebas dari wasangka bahwa melalui Panja mereka berniat main mata, yakni melakukan politisasi terhadap putusan hukum. Mereka rawan dituding sengaja membentuk Panja sebagai alat negosiasi, bahkan jurus penekan yang ampuh, terutama jika membahas perkara hukum yang menyangkut anggota Dewan.

Inisiatif Senayan yang kebablasan ini seharusnya dijadikan Mahkamah Agung sebagai momentum untuk mawas diri. Koreksi ke dalam mutlak dilakukan. Betul bahwa posisi sebagai lembaga tinggi yudikatif membuat Mahkamah Agung bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lain. Di sisi lain, para hakim agung itu hendaknya sadar diri bahwa banyak putusan mereka tak memenuhi kepatutan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus