Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Orang Tua

Prof S.M. Abidin menolak keras matematika baru. Wirasto dosen FIPA Universitas Gajah Mada menjelaskan matematika baru diciptakan setelah 1900. Merupakan gerakan pendidikan pra Universitas.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA matematika baru kembali ke permukaan. Melalui harian Sinar Haraparl, Prof SM Abidin - yang memperoleh ijazah pendidikan menengah untuk ilmu pasti tahun 1937 dari sebuah ujian yang diselenggarakan oleh sekolah teknik tinggi yang kini jadi ITB - menyerang matematika baru itu dengan keras. Serangannya ditulis dalam serangkaian tulisan menjelang akhir bulan lalu. "Harus dihindarkan anak didik kita menjadi dungu karena matematika baru." beitu iudul tulisannya. Tak ayal lagi, sejumlah orang tua bertepuk. Seorang ibu misalnya menyatakan: "Selama ini saya memendam rasa ketidak-puasan dan kekhawatiran melihat pelajaran matematik yang didapat anak-anak saya di sekolah. Tetapi sebagai orang awam saya tidak dapat menulis atau mengeluarkan pendapat." Tanya ibu itu pula: "Apakah golongan penyokong matematik modern akan menjadikan anak-anak kita sebagai kelinci percobaan? Sedangkan sudah jelas di luar negeri pun (orang) sudah kembali kepada matematik tradisionil. Apakah si mata biru itu selalu benar? Apakah karena uang bantuannya atau beasiswa (jalan-jalan) itukah yang dituju?" Gelar Prof. "Tidak Sah" Nadanya penuh curiga Dan sekali lagi nampak, bahwa penjelasan tentang seluk-beluk matematika baru belum cukup sampai ke para orang tua murid. Mungkin menyadari itu, maka Wirasto, dosen Fakultas Ilmu Pasti & Alam Universitas Gajah Mada serta anggota Team Matematika Baru yang dibentuk Pemerintah di tahun 1970, berseru dengan berapi-api: "Para Orang Tua Murid Yang Terhormat! Jangan cemas," katanya dalam satu naskah yang dibagikannya kepada pers. Seraya dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dikatakan Abidin adalah "salah sama sekali", Wirasto juga malah menambahkan, ia akan menguraikan mengapa ia menyangka gelar profesor "yang selalu ditempelkan di depan nama Sdr. Abidin adalah tidak sah." (Abidun sendiri kepada Eddy Herwanto dari TEMPO menyatakan bahwa gelar itu didapatnya pada masa pendudukan Jepang untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik Tinggi di Bandung). Kata Wirasto pula: dalam menulis sejarah matematika baru, "Sdr. Abidin tidak berusaha mengumpulkan terlebih dulu fakta-fakta yang lengkap. Isinya sebagian besar .isapan jempol. Sdr. Abidin menulis sejarah seperti orang menulis cerita pendek atau roman." Menurut Wirasto, Abidin tak membedakan antara "ilmu matematika" dan (bahan) "pelajaran matematika". Sebagai ilmu, karena berkembang terus-menerus, maka tidak ada pengertian "ilmu matematika tradisionil". Meskipun begitu ada pengertian "matematika modern". Menurut masa kini, yang "modern" itu adalah ilmu matematika yang diciptakan sesudah tahun 1900."Tentu saja batas itu menggeser," kata Wirasto, "sebab apa yang dalam tahun 1950 masih modern, sebagian besar sekarang sudah tidak modern lagi." Yang Ekstrim Pengertian itu harus dibedakan dengan pengertian "pelajaran matematika". Yang disebut "pelajaran matematika lama" atau "tradisionil" ialah pelajaran yang mengambil bahannya dari ilmu matematika yang sudah dikenal sampai tahun 1750. Apa yang ditemukan dan diciptakan sesudah itu "tidak dihiraukan". Kini ada "pelajaran matematika baru". Bahannya ialah dari seluruh ilmu matematika yang ada, jadi yang diciptakan sejak aman kuno sampai sekarang. Bahannya tak melulu terdiri dari pasal-pasal baru. Pasal kuno yang masih berfaedah dipakai terus, yang tidak berguna lagi dibuang. Penjelasan Wirasto ini bisa diperteguh oleh RK Sembiring, dari Dep. Matematika ITB. Orang ini, yang membantah Abidin dengan gaya yang lebih dingin, menyatakan bahwa matematika baru adalah "suatu gerakan pendidikan di pra universitas". Sembiring juga mengingatkan, bahwa matematika baru itu ada yang ekstrim dan ada yang moderat. Yang biasanya dikritik di luar negeri adalah yang ekstrim. Tapi tak berarti bahwa orang di luar negeri kembali ke "matematika tradisionil" (lihat TEMPO, 2 Juli). Lagipula matematika baru yang dipakai di Indonesia kini adalah yang moderat. Seperti dikatakan Wirasto matematika baru di Indonesia diambil dari Afrika -- jadi bukan dari "si mata buu". Gagasan pembaharuan pertama kali dicetuskan dalam konperensi internasional matematika di Bombay, 1956. Indorlesia diwakili oleh Prof. Suhakso, yang menyebarkan gagasan itu di antara para matematikawan Indonesia. Di tahun 1967 Wirasto dan kawan-kawannya mulai mengadakan ceramah tentang pembaharuan itu di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan di tahun 1968 diadakanlah pelajaran percobaan matematika baru di SMA. Juga ada penataran untuk guru. Namun betapapun tetap ada yang kurang: penjelasan tentang matematika baru untuk orang tua tak pernah dilakukan secara sistematis. Memang ada buku tulisan Andi Hakim Nasution yang diterbitkan Gramedia tahun lalu. Tapi bagaimana meyakinkan orang tua, bahwa pembaharuan itu penting, masih tetap merupakan hal yang diterlantarkan. Polemik Prof. SM Abidin mungkin bisa diambil manfaatnya ke arah itu. Ataukah para matematikawan cukup puas bila ide mereka diterima Dep. P & K lalu tak peduli bahwa soal begini bukan cuma urusan Surat Keputusan dari atas?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus