PERKARA matematika baru kembali ke permukaan. Melalui harian
Sinar Haraparl, Prof SM Abidin - yang memperoleh ijazah
pendidikan menengah untuk ilmu pasti tahun 1937 dari sebuah
ujian yang diselenggarakan oleh sekolah teknik tinggi yang kini
jadi ITB - menyerang matematika baru itu dengan keras.
Serangannya ditulis dalam serangkaian tulisan menjelang akhir
bulan lalu. "Harus dihindarkan anak didik kita menjadi dungu
karena matematika baru." beitu iudul tulisannya.
Tak ayal lagi, sejumlah orang tua bertepuk. Seorang ibu misalnya
menyatakan: "Selama ini saya memendam rasa ketidak-puasan dan
kekhawatiran melihat pelajaran matematik yang didapat anak-anak
saya di sekolah. Tetapi sebagai orang awam saya tidak dapat
menulis atau mengeluarkan pendapat." Tanya ibu itu pula: "Apakah
golongan penyokong matematik modern akan menjadikan anak-anak
kita sebagai kelinci percobaan? Sedangkan sudah jelas di luar
negeri pun (orang) sudah kembali kepada matematik tradisionil.
Apakah si mata biru itu selalu benar? Apakah karena uang
bantuannya atau beasiswa (jalan-jalan) itukah yang dituju?"
Gelar Prof. "Tidak Sah"
Nadanya penuh curiga Dan sekali lagi nampak, bahwa penjelasan
tentang seluk-beluk matematika baru belum cukup sampai ke para
orang tua murid.
Mungkin menyadari itu, maka Wirasto, dosen Fakultas Ilmu Pasti &
Alam Universitas Gajah Mada serta anggota Team Matematika Baru
yang dibentuk Pemerintah di tahun 1970, berseru dengan
berapi-api: "Para Orang Tua Murid Yang Terhormat! Jangan cemas,"
katanya dalam satu naskah yang dibagikannya kepada pers.
Seraya dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dikatakan Abidin
adalah "salah sama sekali", Wirasto juga malah menambahkan, ia
akan menguraikan mengapa ia menyangka gelar profesor "yang
selalu ditempelkan di depan nama Sdr. Abidin adalah tidak sah."
(Abidun sendiri kepada Eddy Herwanto dari TEMPO menyatakan bahwa
gelar itu didapatnya pada masa pendudukan Jepang untuk mengajar
di Sekolah Menengah Teknik Tinggi di Bandung). Kata Wirasto
pula: dalam menulis sejarah matematika baru, "Sdr. Abidin tidak
berusaha mengumpulkan terlebih dulu fakta-fakta yang lengkap.
Isinya sebagian besar .isapan jempol. Sdr. Abidin menulis
sejarah seperti orang menulis cerita pendek atau roman."
Menurut Wirasto, Abidin tak membedakan antara "ilmu matematika"
dan (bahan) "pelajaran matematika". Sebagai ilmu, karena
berkembang terus-menerus, maka tidak ada pengertian "ilmu
matematika tradisionil". Meskipun begitu ada pengertian
"matematika modern". Menurut masa kini, yang "modern" itu adalah
ilmu matematika yang diciptakan sesudah tahun 1900."Tentu saja
batas itu menggeser," kata Wirasto, "sebab apa yang dalam tahun
1950 masih modern, sebagian besar sekarang sudah tidak modern
lagi."
Yang Ekstrim
Pengertian itu harus dibedakan dengan pengertian "pelajaran
matematika". Yang disebut "pelajaran matematika lama" atau
"tradisionil" ialah pelajaran yang mengambil bahannya dari ilmu
matematika yang sudah dikenal sampai tahun 1750. Apa yang
ditemukan dan diciptakan sesudah itu "tidak dihiraukan". Kini
ada "pelajaran matematika baru". Bahannya ialah dari seluruh
ilmu matematika yang ada, jadi yang diciptakan sejak aman kuno
sampai sekarang. Bahannya tak melulu terdiri dari pasal-pasal
baru. Pasal kuno yang masih berfaedah dipakai terus, yang tidak
berguna lagi dibuang.
Penjelasan Wirasto ini bisa diperteguh oleh RK Sembiring, dari
Dep. Matematika ITB. Orang ini, yang membantah Abidin dengan
gaya yang lebih dingin, menyatakan bahwa matematika baru adalah
"suatu gerakan pendidikan di pra universitas". Sembiring juga
mengingatkan, bahwa matematika baru itu ada yang ekstrim dan ada
yang moderat. Yang biasanya dikritik di luar negeri adalah yang
ekstrim. Tapi tak berarti bahwa orang di luar negeri kembali ke
"matematika tradisionil" (lihat TEMPO, 2 Juli). Lagipula
matematika baru yang dipakai di Indonesia kini adalah yang
moderat.
Seperti dikatakan Wirasto matematika baru di Indonesia diambil
dari Afrika -- jadi bukan dari "si mata buu". Gagasan
pembaharuan pertama kali dicetuskan dalam konperensi
internasional matematika di Bombay, 1956. Indorlesia diwakili
oleh Prof. Suhakso, yang menyebarkan gagasan itu di antara para
matematikawan Indonesia. Di tahun 1967 Wirasto dan
kawan-kawannya mulai mengadakan ceramah tentang pembaharuan itu
di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan di tahun 1968 diadakanlah
pelajaran percobaan matematika baru di SMA. Juga ada penataran
untuk guru.
Namun betapapun tetap ada yang kurang: penjelasan tentang
matematika baru untuk orang tua tak pernah dilakukan secara
sistematis. Memang ada buku tulisan Andi Hakim Nasution yang
diterbitkan Gramedia tahun lalu. Tapi bagaimana meyakinkan orang
tua, bahwa pembaharuan itu penting, masih tetap merupakan hal
yang diterlantarkan. Polemik Prof. SM Abidin mungkin bisa
diambil manfaatnya ke arah itu. Ataukah para matematikawan cukup
puas bila ide mereka diterima Dep. P & K lalu tak peduli bahwa
soal begini bukan cuma urusan Surat Keputusan dari atas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini