Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2020 membuka tabir sandiwara dalam kasus suap-menyuap yang melibatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Salah satu tersangka, Harun Masiku, yang sebelumnya disebutkan sedang berada di luar negeri, ternyata telah kembali ke Indonesia. Jika temuan itu benar, patut diduga ada upaya sistematis yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyembunyikan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak bisa dimungkiri bahwa kasus yang terkait dengan pergantian antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini menarik untuk dianalisis lebih jauh. Bukan malah menuai pujian, justru operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi malah dikritik, dari sikap pimpinan KPK yang terlihat "takut" dengan PDIP, efek buruk berlakunya Undang-Undang KPK baru, sampai reaksi PDIP yang terkesan "pasang badan" untuk melindungi beberapa anggotanya.
Saya akan mencoba mengulas polemik ini dengan melandaskan beberapa argumentasi. Pertama, pimpinan KPK menunjukkan sikap yang inkonsisten dan abai dalam melindungi jajarannya. Misalnya, tim penyelidik KPK dilarang menyegel kantor PDIP karena dipersoalkan legalitasnya, padahal pada waktu yang sama Lili Pintauli Siregar, Komisioner KPK, menyebutkan bahwa tim telah dibekali dengan dokumen yang lengkap.
Jika di tahap penyelidikan KPK ingin menyegel kantor PDIP, maka pada fase penyidikan sudah barang tentu lembaga anti-rasuah itu akan melakukan penggeledahan. Faktanya, hingga saat ini tindakan tersebut tak kunjung dilakukan.
Selain itu, kejadian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian mesti disorot tajam. Tim penyelidik KPK untuk kedua kalinya dihalangi tugasnya oleh beberapa oknum di sana. Padahal kuat diduga ada pihak-pihak yang sedang bersembunyi di sana dengan tujuan agar lepas dari jerat hukum.
Seharusnya kejadian ini dapat dihindari jika pimpinan KPK tampil di hadapan publik untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Tapi pimpinan KPK memilih untuk diam dan membiarkan narasi negatif berkembang di tengah masyarakat. Tidak salah rasanya jika publik menganggap bahwa pimpinan KPK era ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah lembaga antikorupsi ini.
Kedua, Undang-Undang KPK baru benar-benar mempersulit dan memperumit kerja penindakan, terutama terkait dengan tindakan pro justicia. Sebelum adanya undang-undang itu, penggeledahan oleh KPK mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dalam keadaan mendesak dapat dilakukan tanpa harus melalui izin dari ketua pengadilan negeri. Dengan adanya undang-undang baru itu, tindakan tersebut harus melalui jalur perizinan yang sangat birokratis karena adanya Dewan Pengawas KPK.
Namun, dalam konteks kasus ini, hambatan utama bukan datang dari Dewan Pengawas, melainkan justru berasal dari pimpinan KPK sendiri. Kuat diduga pimpinan KPK hingga saat ini belum mengirimkan surat permintaan izin penggeledahan ke Dewan Pengawas. Publik dengan mudah menangkap asumsi ini dengan melihat gestur KPK yang beberapa waktu belakangan tidak jelas dan cenderung menutup akses informasi.
Ketiga, PDIP terlalu berlebihan ketika membentuk tim advokasi hukum atas kasus ini. Tim ini bergerak untuk kepentingan apa: Harun Masiku atau Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto? Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena kesimpulan yang dibacakan pada konferensi pers cenderung tendensius kepada KPK dan mengaburkan substansinya, dari mempersoalkan keabsahan OTT KPK, tudingan mencoreng citra PDIP, hingga mempertanyakan pemberitaan yang sedang berkembang.
Kesimpulan yang disampaikan oleh tim advokasi hukum PDIP itu sangat mudah dibantah. Misalnya soal keabsahan OTT KPK. Mengacu pada KUHAP, definisi tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Dalam kasus ini diketahui bahwa Wahyu Setiawan selaku bagian dari penyelenggara negara menerima uang suap dari orang kepercayaannya pada 8 Januari 2020 dan saat itu pula KPK melakukan tangkap tangan kepadanya. Tentu logika KPK telah benar ketika melakukan tindakan tersebut.
Ihwal tudingan mencoreng citra PDIP pun tidak benar dan terkesan hiperbolik. Ingatan publik rasanya penting untuk dikembalikan pada Agustus 2019 saat KPK melakukan tangkap tangan yang melibatkan Nyoman Dhamantra, anggota DPR dari PDIP. Saat itu Nyoman langsung dikenai sanksi berupa pemecatan dan tidak diberikan bantuan hukum oleh partainya. Bahkan ucapan itu langsung diutarakan oleh Hasto Kristiyanto.
Pada akhirnya, kekhawatiran masyarakat selama ini terkonfirmasi. Pimpinan KPK yang baru yang disertai dengan Undang-Undang KPK hasil revisi membawa pemberantasan korupsi ke masa yang paling suram. Untuk itu, Presiden Joko Widodo bersama segenap anggota DPR adalah pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi ini.