Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTABURANNYA nama kandidat berlatar belakang polisi dan jaksa dalam daftar hasil seleksi administrasi calon komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2024-2029 adalah pertanda bahaya. Pengalaman membuktikan pemimpin komisi antikorupsi yang berlatar belakang polisi dan jaksa sulit independen serta berpeluang membawa KPK seperti saat dipimpin Komisaris Jenderal Firli Bahuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 236 orang dari 318 pendaftar dinyatakan lolos seleksi administrasi oleh Panitia Seleksi KPK pada Rabu, 24 Juli 2024. Di antara ratusan kandidat itu, 16 orang berasal dari kepolisian dan 11 orang dari kejaksaan. Sebagian besar kandidat adalah polisi dan jaksa aktif, sebagian lagi adalah pensiunan. Dari jumlah itu, bahkan ada yang memiliki rekam jejak tak sedap berkaitan dengan pelemahan KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang lolos ialah eks Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI sekaligus eks Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Antam Novambar. Antam ditengarai mengancam Direktur Penyidikan KPK Endang Tarsa pada 2015. Saat itu hubungan KPK dengan Polri sedang panas-dingin. Penyebabnya adalah calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus rekening gendut.
Pansel KPK semestinya belajar dari era KPK ketika dipimpin Firli Bahuri. Alih-alih bisa membawa komisi antikorupsi menjalankan muruahnya dalam pemberantasan korupsi, Firli justru menghancurkan lembaga tersebut. Di bawah Firli, KPK tak ubahnya tukang pukul penguasa. Firli juga tak menghormati standar tinggi etika di komisi antirasuah. Perilaku itu membuat KPK busuk dari kepala, terlebih setelah dia disangka menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan.
Baca Liputannya:
Krisis integritas dari pimpinan dan pegawai serta kinerja yang jauh dari memuaskan—lewat indeks persepsi korupsi yang belakangan terus merosot—membuat KPK saat ini kehilangan kepercayaan publik. Bahkan, menurut hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum pada periode Februari-Maret 2023, yang dirilis Indikator Politik Indonesia, kepercayaan publik terhadap KPK berada di bawah Kejaksaan Agung dan Polri. Survei tersebut menunjukkan betapa rusaknya KPK di bawah pimpinan Firli.
KPK yang dipimpin jaksa dan polisi juga sarat konflik kepentingan, terutama dalam urusan mengusut kasus yang berkaitan dengan dua lembaga penegak hukum tersebut. Paling menyedihkan adalah suburnya praktik jual-beli perkara dan pungutan liar terhadap tahanan korupsi seperti yang terjadi pada era Firli. Dia bukan hanya produk gagal di KPK, melainkan juga orang yang membawa lembaga antirasuah menuju ambang kehancuran.
Seleksi calon komisioner KPK periode 2024-2029 merupakan kesempatan untuk memulai perbaikan lembaga tersebut. Tidak ada keharusan pimpinan KPK berasal dari Kejaksaan Agung dan Polri karena tak ada dasar hukum yang menyatakan perwakilan Korps Adhyaksa dan Bhayangkara harus menjadi bagian pimpinan KPK.
Para kandidat yang terpilih sejatinya adalah mereka yang memiliki rekam jejak bagus dalam upaya pemberantasan korupsi. Panitia seleksi harus mengedepankan orang-orang yang juga memiliki komitmen dan integritas untuk membawa perbaikan komisi antikorupsi yang tengah terpuruk. Yang juga tak kalah penting, pimpinan KPK ke depan adalah mereka yang bisa mendorong revisi Undang-Undang KPK yang menjadi sumber pelemahan lembaga tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo