Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kurikulum 75 dan basoeki abdullah

Struktur pendidikan kurikulum 75 lebih luwes dari pada kurikulum 68. menurut basuki abdullah, perlu suatu kontinuitas budaya. pendidikan formal harus menjadi suatu alat untuk menjamin kontinuitas tsb.

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG menarik pada Kurikulum 75 adalah strukturnya jauh lebih luwes daripada kurikulum 68. Ada studi mayor dan studi minor, siswa mendapat lebih banyak kebebasan untuk menentukan pilihannya berdasarkan minat dan bakatnya. Pendidikan ditekankan pada proses belajar, guru tidak lagi menggurui tetapi membimbing. Yang menarik pada Basoeki Abdullah adalah kepekaannya akan perlunya suatu komunitas budaya. la melemparkan gagasan untuk mendirikan suatu Museum Nasional Luhian. "Untuk pendidikan, supaya ada komunikasi antara yang muda dan sebelumnya", demikian kata-katanya yang sederhana dikutip wartawan. "lni sudah temponya. Apakah kita mesti menunggu sampai pikun?" ujarnya dengan bahasa Indonesia "tempo dulu". Kita lantas ingat pada tulisan Prof. Kuntjaraningrat ("Pengembangan Bahasa Nasional Sebagai Unsur Kebudayaan Nasional", Bahasa dan Sastra, Th. I, no. 2, 1975). Ia membedakan "kebudayaan lndonesia" dengan "kebudayaan nasional". Baginya kebudayaan Indonesia adalah "seluruh total dari isi pkiran. aktivitas dan hail karya semua warga bangsa Indonesia dari suku bangsa manapun juga". Sedang kebudayaan nasional menurut hematnya harus bersifat khas dan harus dapat dibanggakan oleh warga negara yang mendukungnya. Sifat khas suatu kebudayaan menurut pendapatnya "hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, dalam keseniannya (yang kuno warisan nenek moyang maupun yang kontemporer termasuk misalnya gaya pakaian), dan dalam adat istiadat upacaranya (yang tradisionil maupun yang baru)". Pada pandangannya sulit untuk menonjolkan sifat khas ini dalam teknologi, ekonomi, sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan ataupun agama kalau berbicara mengenai kebudayaan nasional kita. Kutipan di atas adalah sekedar untuk menunjukkan bahwa, dalam politik kebudayaan, kita perlu memikirkan faktor apa kiranya yang bisa dimanfaatkan untuk memberi dasar yang kokoh bagi integrasi warga masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa secara budaya. Kiranya kita sepakat bahwa "pembangunan manusia Indonesia seutuhnya" bukan cuma basa-basi. Salah satu lembaga yang diharapkan dapat menganani proses integrasi bangsa adalah pendidikan formil. Kalau kita teliti segi yang menjadi pembicaraan kita dalam hubungan dengan Kurikulum 75, untuk SMA saja, maka beberapa unsurnya terwujud dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargaa Negara, llmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Kesenian dan Bahasa Indonesia. Pendidikan Kewargaan Negara dan IPS sudah jelas tujuannya. Soal Pendidikan Kesenian masih sangat tergantung pada pelaksanaannya: apakah kesenian sebagai unsur kebudayaan Indonesia (misalnya kesenian menurut daerahnya) atau juga sebagai unsur kebudayaan nasional? Apakah di dalamnya sudah termasuk antara lain seni lukis nasional yang jelas merupakan salah satu unsur kebudayaan nasiona?l Adapun tentang bahasa Indonesia semua sepakat bahwa ini merupakan unsur kebudayaan nasional. Tapi bagaimana halnya dengan Kesusastraan Nasional? Adakah tindakan yang kurang hati-hati andaikata benar kata orang bahwa pelajaran kesusastraan disatukan dengan bahasa Indonesia . Bagaimanapun juga, kalau kita mau sedikit melamunl tentang seperti apa itu "manusia Indonesia seutuhnya" di masa yang tua-tua ini sudah menjadi santapan ulat tanah, maka setidak-tidaknya (tanpa mengabaikan unsur-unsur kebudayaan lndonesia) unsur-unsur kebudayaan nasional yang masih sedikit itu, seperti kesenian nasional, bahasa nasional dan kesusastraan nasional, harus dijadikan "arus bawah" sistim pendidikan kita agar bisa menjadi "arus bawah" masyarakat Indonesia yang baru. Lalu apa hubungannya Kurikulum 75 dan Basoeki Abdullah? Bahwa pendidikan formil mesti menjadi salah satu alat untuk menjamin kontinuitas budaya yang menuju integrasi bangsa. Apabila tidak, maka kebudayaan asing akan menggantikannya. Apakah memang demikian halnya dengan Kurikulum 75? Baiklah kita ikuti bersama agar tidak menyesal di belakang hari. Rawamangun, Januari 1976

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus