YANG menarik pada Kurikulum 75 adalah strukturnya jauh lebih
luwes daripada kurikulum 68. Ada studi mayor dan studi minor,
siswa mendapat lebih banyak kebebasan untuk menentukan
pilihannya berdasarkan minat dan bakatnya. Pendidikan ditekankan
pada proses belajar, guru tidak lagi menggurui tetapi
membimbing.
Yang menarik pada Basoeki Abdullah adalah kepekaannya akan
perlunya suatu komunitas budaya. la melemparkan gagasan untuk
mendirikan suatu Museum Nasional Luhian. "Untuk pendidikan,
supaya ada komunikasi antara yang muda dan sebelumnya", demikian
kata-katanya yang sederhana dikutip wartawan. "lni sudah
temponya. Apakah kita mesti menunggu sampai pikun?" ujarnya
dengan bahasa Indonesia "tempo dulu".
Kita lantas ingat pada tulisan Prof. Kuntjaraningrat
("Pengembangan Bahasa Nasional Sebagai Unsur Kebudayaan
Nasional", Bahasa dan Sastra, Th. I, no. 2, 1975). Ia
membedakan "kebudayaan lndonesia" dengan "kebudayaan nasional".
Baginya kebudayaan Indonesia adalah "seluruh total dari isi
pkiran. aktivitas dan hail karya semua warga bangsa Indonesia
dari suku bangsa manapun juga". Sedang kebudayaan nasional
menurut hematnya harus bersifat khas dan harus dapat
dibanggakan oleh warga negara yang mendukungnya. Sifat khas
suatu kebudayaan menurut pendapatnya "hanya bisa
dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu
kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, dalam keseniannya (yang kuno
warisan nenek moyang maupun yang kontemporer termasuk misalnya
gaya pakaian), dan dalam adat istiadat upacaranya (yang
tradisionil maupun yang baru)". Pada pandangannya sulit untuk
menonjolkan sifat khas ini dalam teknologi, ekonomi, sistem
kemasyarakatan, ilmu pengetahuan ataupun agama kalau berbicara
mengenai kebudayaan nasional kita.
Kutipan di atas adalah sekedar untuk menunjukkan bahwa, dalam
politik kebudayaan, kita perlu memikirkan faktor apa kiranya
yang bisa dimanfaatkan untuk memberi dasar yang kokoh bagi
integrasi warga masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa secara
budaya. Kiranya kita sepakat bahwa "pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya" bukan cuma basa-basi.
Salah satu lembaga yang diharapkan dapat menganani proses
integrasi bangsa adalah pendidikan formil. Kalau kita teliti
segi yang menjadi pembicaraan kita dalam hubungan dengan
Kurikulum 75, untuk SMA saja, maka beberapa unsurnya terwujud
dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargaa Negara, llmu
Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Kesenian dan Bahasa
Indonesia. Pendidikan Kewargaan Negara dan IPS sudah jelas
tujuannya. Soal Pendidikan Kesenian masih sangat tergantung
pada pelaksanaannya: apakah kesenian sebagai unsur kebudayaan
Indonesia (misalnya kesenian menurut daerahnya) atau juga
sebagai unsur kebudayaan nasional? Apakah di dalamnya sudah
termasuk antara lain seni lukis nasional yang jelas merupakan
salah satu unsur kebudayaan nasiona?l Adapun tentang bahasa
Indonesia semua sepakat bahwa ini merupakan unsur kebudayaan
nasional. Tapi bagaimana halnya dengan Kesusastraan Nasional?
Adakah tindakan yang kurang hati-hati andaikata benar kata
orang bahwa pelajaran kesusastraan disatukan dengan bahasa
Indonesia .
Bagaimanapun juga, kalau kita mau sedikit melamunl tentang
seperti apa itu "manusia Indonesia seutuhnya" di masa yang
tua-tua ini sudah menjadi santapan ulat tanah, maka
setidak-tidaknya (tanpa mengabaikan unsur-unsur kebudayaan
lndonesia) unsur-unsur kebudayaan nasional yang masih sedikit
itu, seperti kesenian nasional, bahasa nasional dan
kesusastraan nasional, harus dijadikan "arus bawah" sistim
pendidikan kita agar bisa menjadi "arus bawah" masyarakat
Indonesia yang baru.
Lalu apa hubungannya Kurikulum 75 dan Basoeki Abdullah? Bahwa
pendidikan formil mesti menjadi salah satu alat untuk menjamin
kontinuitas budaya yang menuju integrasi bangsa. Apabila tidak,
maka kebudayaan asing akan menggantikannya. Apakah memang
demikian halnya dengan Kurikulum 75? Baiklah kita ikuti bersama
agar tidak menyesal di belakang hari.
Rawamangun, Januari 1976
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini