ADA kesan pemerintah gampang ditekan, baik dari luar maupun dari dalam. Tekanan dari luar misalnya datang dari Dana Moneter Internasional, IMF. Begitu bantuan akan ditunda, kepanikan pun muncul. Adapun tekanan dari dalam, misalnya, adalah aksi di berbagai kota soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu aksi itu marak, kita tak perlu lagi mendengarkan suara tokek untuk menebak-nebak apakah harga BBM jadi naik atau tidak. Pemerintah seperti tak punya pilihan. Akhirnya, ya, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan penundaan kenaikan harga BBM itu.
Sebenarnya bukan hanya mudah ditekan, pemerintah juga seperti gamang menyelesaikan berbagai persoalan di bidang ekonomi. Contohnya jelas soal pencabutan subsidi BBM itu. Ini sudah diputuskan bersama antara pemerintah dan DPR, dan sudah pula dihitung angka-angkanya dalam APBN. Kesepakatannya, subsidi hanya diberikan kepada rakyat kecil. Misalnya, masyarakat miskin (kata miskin masih memakai istilah Orde Baru: prasejahtera dan sejahtera satu) diberi subsidi untuk membeli minyak tanah, dan biaya beban listriknya tidak naik—asal jangan lewat 900 kWh. Subsidi solar dan premium diberikan kepada angkutan umum.
Timbul soal, bagaimana menyalurkan subsidi itu. Semula dipakai cara kupon, bahkan konon kuponnya sudah dicetak. Begitu muncul protes—khawatir muncul kupon palsu atau menguangkannya bertele-tele—pemerintah mencari jalan lain: memberikan uang tunai lewat kantor pos. Ini pun diprotes pula. Sebab, tak jelas kepada siapa subsidi diberikan? Kepada pemilik angkutan umum atau kepada sopirnya? Belum lagi subsidi untuk minyak tanah, apakah Pak Pos cuma mengantarkan ke lurah, atau langsung? Tak jelas konsepnya.
Ketidaksiapan itulah sebenarnya yang memicu anggota DPR dari Komisi VIII meminta pemerintah menunda saja kenaikan harga BBM. Dan pemerintah menurutinya.
Tapi, kenapa aksi-aksi mahasiswa tetap marak dan malah menuntut pemerintah tidak sekadar menunda kenaikan harga BBM, tapi membatalkan kenaikan itu? Di sini ada lagi ''kesalahan" pemerintah: tak menjelaskan secara maksimal bagaimana subsidi BBM itu sangat memberatkan anggaran. Penghapusan secara bertahap subsidi minyak ini bukan cuma disarankan IMF, tetapi juga karena kenyataannya harga BBM di dalam negeri sangat rendah dibandingkan dengan di negeri tetangga—dan ini mendorong penyelundupan. Mestinya banyak hal yang harus dijelaskan pemerintah, dan semestinya pula mahasiswa pun paham jika diberikan penjelasan itu. Cuma, itulah, tim ekonomi pemerintah gamang melangkah dan membiarkan masyarakat semakin bingung. Mereka seperti tak punya prioritas, apa yang mesti dikerjakan. Semuanya tersendat dan jalan di tempat. Padahal, penundaan kenaikan harga BBM tidak saja berakibat semakin defisitnya anggaran, tetapi juga semakin memberi ketidakpastian. Penundaan tentu beda dengan pembatalan. Apalagi kalau penundaan itu tidak disertai dengan sosialisasi dan upaya membuat kondisi yang kondusif. Sama juga bohong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini