ADA yang menarik dari pertemuan Indonesia-Australia di Bali dua pekan lalu. Australia mempertanyakan, kenapa TNI-AL menutup Selat Lombok selama tiga hari pada September lalu, padahal selat itu termasuk dalam jalur internasional. Menanggapi pertanyaan itu, Menhankam L.B. Moerdani menyatakan, penutupan itu diperlukan Indonesia untuk "melindungi keamanan regional kami". Lantas, Menlu Ali Alatas menyebutkan, penutupan Selat Lombok dan Selat Sunda sesuai dengan hak dan kedaulatan Indonesia. Kedua selat itu merupakan perairan nasional Indonesia. Namun, lintas kapal asing dalam wujud innocent passage atau lintas damai tetap terbuka bagi kapal asing. "Sama sekali tidak ada maksud kami untuk secara permanen menutup lalu lintas di perairan tersebut." Penutupan itu, "Hanya untuk menghindarkan terjadinya bahaya terhadap kapal-kapal yang lewat, sementara latihan perang-perangan berlangsung," ujar Menlu Alatas. * * * PENJELASAN kedua pejabat Indonesia itu mestinya telah cukup mendudukkan persoalan ke dudukan yang sebenarnya. Tapi apakah pertanyaan pihak Australia itu, juga AS dan Jerman Barat, mencerminkan keprihatinan masyarakat internasional terutama, yang memiliki armada besar, seperti ditulis Peter Hastings dalam Sydney Morning Herald, 24 Oktober 1988? Tampaknya tidak. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Bukan jumlah pulau yang belasan ribu itu yang penting. Tapi wawasan yang menempatkan segala pulau dan perairan yang menghubungkannya sebagai satu kesatuan wilayah. Karena wilayah, ia sepenuhnya berada di bawah kedaulatan (sovereignty) negara itu. Orang bilang, inilah konsep tanah air, warisan nenek moyang kita. Tentu ada kriteria teknis. Tanah dan air itu diikat dengan garis-garis pangkal (straight base lines). Garis-garis itu sendiri tercipta dari dihubungkannya titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Begitulah, maka perairan yang berada pada sisi dalam garis-garis pangkal lurus tadi disebut perairan pedalaman (internal waters). Di situlah terdapat Selat Lombok dan Selat Makassar. Tapi perairan Indonesia bukan hanya perairan pedalaman. Ke arah luar dari dan sepanjang garis-garis pangkal lurus tadi ada suatu alur selebar 12 mil. Ini dia yang dibilang laut teritorial (territorial sea), juga dinamakan laut wilayah. Perairan pedalaman itu, tertutupkah bagi kapal asing? Sebetulnya ya. Tapi UU Perairan 1960 tetap memberikan hak lintas damai bagi kapal asing. Ini wajar sebab bagian terbesar perairan pedalaman itu tadinya adalah laut lepas (high seas) atau laut teritorial. Lintas damai ini banyak aturannya. Maklum, ia merupakan kompromi antara kepentingan negara pantai dan negara maritim yang kapalnya berkelana ke mana-mana. Ada satu yang penting: negara pantai samasekali tak boleh menghalangi lintas damai. Sebaliknya ia untuk sementara dapat menunda lintas damai pada daerah-daerah tertentu. Tindakan itu hanya dibolehkan apabila diperlukan bagi kepentingan keamanan negara itu. Juga mesti diumumkan, dan ada alternatif jalan air yang lain. Laksamana Pertama Ketut Wiresata, Komandan Gugus Tempur Laut Armada RI Kawasan Timur, menegaskan tentang adanya alternatif jalur lain yang disediakan itu (Pelita 20 September 1988). Itu pengaturan Indonesia berkenaan perairan nasionalnya, berpijak pada hukum laut internasional yang telah diakui. * * * HUKUM laut kini dalam peralihan. Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982 tinggal menanti fajar sidik: 34 negara dari jumlah 60 minimal telah meratifikasinya. KHL 1982 ini lebih maju dan komprehensif. Satu dari 17 bagian yang dikandungnya mengatur khusus mengenai negara kepulauan. Di sini selat-selat yang dipersoalkan tadi termasuk dalam rezim perairan kepulauan (archipelagic waters). Tapi biar namanya tidak lagi perairan pedalaman, kedaulatan negara kepulauan atas perairan yang di situ sama sekali tidak berubah. Konsep tanah air tetap ada di situ. Bedanya, perkara lintas kapal asing. Kalau tadi lintas damai menurut UU kita merupakan perkecualian, kini lintas damai pada perairan kepulauan adalah hak kapal asing, dari mana saja. Perkara menunda lintas pun sama, mesti atas alasan keamanan. Tapi pada KHL 1982 ini ada imbuhan, yakni alasan keamanan itu including weapons exercises, termasuk percobaan senjata. Jadi, pas dalam hal kedua selat di atas. Ada beda lain. Negara kepulauan dapat mengkonsentrasikan lintas kapal asing pada alur-alur tertentu. Itulah lintas laut kepulauan (archipelagic sealanes passage). Alur ini berupa poros yang hampir lurus. Kabarnya, Indonesia merencanakan alur ini dari Selat Lombok di selatan ke arah Selat Makassar di utara. Lintas yang satu ini pun punya karakter tersendiri. Dalam KHL 1982 ada selat yang bukan sembarang selat. Ia diatur di bawah judul Straits Used for International Navigation. Di sini kapal asing mendapat hak lintas transit (transit passage), satu jenis lintas baru yang lebih dekat kepada paham kebebasan laut (freedom of the sea). Inilah agaknya penyebab mengapa Menteri Alatas menyerukan agar Selat Lombok dan Selat Sunda jangan disamakan dengan Selat Malaka. Selat Malaka, yang terletak di antara tiga negara, masuk kategori selat yang dipergunakan untuk navigasi internasional. Di situ lintas transit tidak boleh ditunda. Kini pengaturan di Selat Malaka disesuaikan dengan statusnya sebagai selat demikian. * * * KONSEP negara kepulauan telah menjadi hukum melalui praktek. Indonesia telah lama melaksanakan kedaulatannya di wilayah perairannya. Banyak sekali contoh yang mendukung itu. Sebut saja yang paling akhir, kasus pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. ZEEI yang tertuang dalam UU No. 5/1983 ini, yang konsepnya diambil dari KHL 1982, dapat mencapai kejauhan 200 mil dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Artinya, pada Indonesia yang menyatu tanah dan air tadi, ZEEI itu dihitung ke arah luar. Jadi, ke arah utara menyeruduk Laut Cina Selatan, ke arah barat daya dan selatan menguak Lautan Hindia. Praktek Indonesia sebagai negara kepulauan ini bukan hanya sejalan dengan KHL 1982. Bahkan isi konvensi itu, sejauh mengenai negara kepulauan, pada hakikatnya adalah refleksi praktek itu sendiri. Jadi, mestinya penutupan sementara lintas kapal asing di selat semacam Lombok dan Sunda tidak perlu menimbulkan kekhawatiran. Hukum internasional itu, termasuk mengenai laut, sudah melekat pada diri Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini