Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi telah membuka satu dari berlapis-lapis skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Penetapan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka merupakan langkah awal untuk membongkar lapisan berikutnya seputar penyaluran Rp 147 triliun lebih untuk 48 bank pada 1998.
Syafruddin dituduh menyalahgunakan wewenang ketika menerbitkan surat keterangan lunas untuk Sjamsul Nursalim pada 2004. Padahal, menurut komisi antikorupsi, konglomerat itu masih berutang Rp 3,7 triliun. Awalnya, Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul, yang kini sudah bubar, menerima kucuran total Rp 30,9 triliun bantuan likuiditas pada masa krisis. Ia membayarnya dengan menyerahkan aset bank, perusahaan, tambak udang, dan uang tunai.
Penerbitan surat lunas utang itu sebenarnya merupakan babak akhir dari rangkaian pengucuran bantuan likuiditas oleh Bank Indonesia. Semua berawal ketika perbankan yang tumbuh dalam suasana kolutif Orde Baru sempoyongan dihajar krisis 1997-1998. Mereka semakin babak-belur karenadalam praktiknya sebagian besar penyaluran kredit ditujukan kepada kelompok usaha mereka sendiri yang juga oleng dilibas krisis keuangan. Dalam kasus Bank Dagang Nasional Indonesia, masalah bertambah rumit karena bank ini mengeluarkan kredit jauh di atas batas maksimal.
Dengan alasan menyelamatkan perekonomian, pemerintah B.J. Habibie memutuskan pemberian bantuan likuiditas kepada perbankan sejak Desember 1998. Pemerintah kemudian juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada pelaksanaannya, kebijakan ini juga ditunggangi pelaku kejahatan.
Penyimpangan terjadi pada proses penyaluran. Banyak pemilik bank, dengan bermain mata dengan pejabat bank sentral, menyelewengkan bantuan ini.
Satu di antara penerima bantuan likuiditas yang dianggap bermasalah adalah Sjamsul. Karena itu, Kejaksaan Agung kemudian menetapkannya sebagai tersangka. Pada April 2001, ia ditahan meski cuma semalam. Dengan alasan kesehatan, ia dibebaskan.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Sjamsul mendapat izin berobat ke luar negeri, sampai akhirnya ia tak pernah lagi kembali. Pada era Megawati Soekarnoputri, dengan berbagai usaha, ia pun mendapatkan surat keterangan lunas, lalu release and discharge-senjata pamungkas bagi Sjamsul untuk lepas dari persoalan hukum. Pada 2008, Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan Sjamsul, yang belakangan diketahui berlumur suap.
Kongkalikong di kejaksaan itu membuat komisi antikorupsi mengambil alih kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bertahun-tahun Komisi menelisik aneka kejanggalan. Di era Abraham Samad, KPK sebenarnya telah menyelesaikan penyelidikan. Namun kriminalisasi Abraham dan sejumlah kolega oleh polisi membuat proses terhenti. Baru pekan lalu, setelah setahun lebih Komisi dipimpin Agus Rahardjo, perkara ini berlanjut kembali.
Dengan segala keruwetan tadi, langkah hati-hati komisi antikorupsi bisa dipahami. Lembaga ini baru menetapkan satu tersangka, yakni Syafruddin Temenggung. Padahal, hampir tidak mungkin Syafruddin memutuskan sendiri penerbitan surat keterangan lunas untuk Sjamsul Nursalim.
Sikap hati-hati barangkali juga perlu karena komisi antikorupsi seperti membuka kotak pandora. Belasan tahun sejak diguyurkan, bantuan likuiditas itu berkaitan erat dengan kekuatan politik. Para penerimanya memiliki jalinan lobi dengan penguasa di hampir setiap rezim.
Meski begitu, kehati-hatian tidak boleh membuat komisi antikorupsi melambatkan langkah. Lembaga ini bahkan perlu melihat kembali penerbitan surat keterangan lunas untuk penerima bantuan likuiditas lainnya. Kita tahu, sejak Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang memberikan fasilitas release and discharge bagi pengemplang BLBI yang dianggap kooperatif, Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengeluarkan surat keterangan lunas bagi 22 debitor. Kejaksaan Agung pun telah membebaskan mereka dari jerat hukum.
Para debitor, termasuk Sjamsul, seharusnya dikenai sanksi karena melanggar batas maksimum pemberian kredit. Tim Forensik Audit BPPN pun menemukan kecurangan BDNI. Salah satunya, BDNI cabang Cook Islands mentransfer dana US$ 607 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun ke sepuluh perusahaan milik Sjamsul di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan, pada awal krisis. Komisi antikorupsi bisa menggunakan temuan ini sebagai pijakan untuk mengejar aset para konglomerat pengemplang BLBI. Kerugian negara bisa dikurangi. Dengan begitu, langkah awal komisi antikorupsi membongkar berlapis-lapis skandal bantuan likuiditas melalui penetapan tersangka Syafruddin Temenggung akan membawa manfaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo