Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YA sudah, Pak SBY memang lebih populer.” Dedi Mulyadi mengucapkan kalimat itu dengan nada pasrah. Ketua Partai Golkar sekaligus Bupati Purwakarta itu baru saja menyaksikan penghitungan suara di Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Purwakarta, Jawa Barat, yang rampung Kamis sore pekan lalu. Hampir 70 persen pemilih di kantong suara andalan Partai Golkar itu mencontreng pasangan calon presiden nomor dua: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Dedi yang merupakan penyokong utama pasangan Jusuf Kalla-Wiranto itu hanya bisa menarik napas panjang.
Di Subang, Jawa Barat, perolehan suara tak jauh berbeda. Padahal massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di kabupaten ini terkenal sangat militan. Pada setiap pemilihan umum, Subang selalu di-”merah”-kan kubu Banteng. Dalam pemilihan kali ini, untuk pertama kalinya sejak Orde Baru tumbang sebelas tahun silam, jago PDI Perjuangan tersungkur.
Pasangan calon presiden Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto hanya berhasil meraup 42 persen suara di sana. Lebih dari 51 persen warga Subang mencontreng Yudhoyono-Boediono. ”Hanya SBY yang menaikkan uang pensiun,” kata Mbah Titi, 65 tahun, janda tentara Angkatan Udara di Dawuan, Subang, ketika ditanya alasannya memberikan suara untuk Yudhoyono-Boediono.
Di luar dugaan kubu penantang, pasangan nomor dua memang menang telak dalam pemilihan presiden awal Juli lalu. Bila tak ada perubahan signifikan sampai akhir penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum pada 23-24 Juli, hampir pasti pemilihan presiden hanya berlangsung satu putaran.
Tak hanya di Subang dan Purwakarta, suara Yudhoyono melejit jauh secara merata di hampir semua provinsi. Berdasarkan hasil hitung cepat Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), hanya Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara yang lolos dari genggaman SBY. Pertarungan berimbang terjadi di Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Tengah, dan Indonesia timur—kecuali Papua. Di semua daerah ”kekuasaan kompetitor” itu, Yudhoyono hanya unggul tipis.
Melihat gencarnya usaha pesaing SBY memenangi pemilihan pada pekan-pekan terakhir menjelang hari pencontrengan, banyak yang kaget melihat angka fantastis kemenangan Yudhoyono. Apa kiranya sihir di balik kemenangan besar ini?
SETELAH mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 Juni tahun lalu, popularitas SBY anjlok ke titik nadir. Lembaga Survei Indonesia ketika itu merilis angka keterpilihan Yudhoyono hanya 25 persen. Inilah angka paling rendah dari tren penilaian publik atas kinerja sang Presiden, yang terus menurun sejak Desember 2006. Survei berkala Lembaga Survei Indonesia menunjukkan kesukaan masyarakat atas figur SBY tak pernah melebihi 40 persen sejak awal 2007. Kubu Yudhoyono makin ketar-ketir saat diberi tahu popularitas Megawati pada Juni 2008 itu—untuk pertama kalinya—ada di peringkat teratas.
”Saat itulah saya dipanggil ke Cikeas,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujani pekan lalu. Selama tiga jam lebih, Saiful mempresentasikan hasil surveinya, juga berdiskusi dengan Yudhoyono dan tim intinya. Disimpulkan bahwa masyarakat amat terpukul oleh kenaikan harga minyak, tapi di saat yang sama mereka tidak tahu ada program ekonomi populis yang dirancang untuk membantu warga miskin. ”Saya saat itu menyarankan, sosialisasikan program pemerintah dengan lebih baik,” kata Saiful.
Saat itu, program pemenangan Partai Demokrat dan SBY mulai dirancang. Komando langsung dipegang Yudhoyono. Konsep-konsep dari Cikeas dengan tangkas diterjemahkan oleh Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan yang juga Ketua Partai Demokrat. Eksekusi di lapangan dikerjakan konsultan politik Fox Indonesia. ”Saat itu target SBY adalah menaikkan angka keterpilihan Partai Demokrat dari 7 persen menjadi 15 persen,” kata Saiful.
Setiap satu bulan, kinerja program pemenangan diukur lewat survei. Senjata utama kampanye Demokrat adalah menggandengkan citra SBY dengan partai dan menonjolkan program pemerintah yang berhasil. Ketika partai lain belum mulai beriklan di media, Partai Demokrat sudah tancap gas dengan kecepatan penuh. ”Iklan di media massa efektif jika gencar dan dilakukan terus-menerus,” ujar Saiful.
Program pemerintah yang ”dijual” adalah Bantuan Langsung Tunai, Bantuan Operasional Sekolah, Kredit Usaha Rakyat, dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Selain itu, swasembada beras dan keberhasilan program antikorupsi diklaim sebagai bagian dari keberhasilan kubu Demokrat. Hasil gerilya itu segera tampak. Pada Maret 2009, sebulan sebelum pemilihan legislatif, popularitas SBY sudah aman bertengger di level 51 persen.
Koordinator operasional tim kampanye nasional SBY-Boediono, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Yahya Sacawiria, mengaku mengurusi ”serangan darat” selama masa kampanye lalu. ”Saya membawahkan ratusan ribu saksi, koordinator desa, dan koordinator kecamatan,” katanya pekan lalu.
Tugas para saksi tidak hanya memantau jalannya pencontrengan, tapi juga memobilisasi pemilih pro-SBY untuk datang ke bilik suara. ”Selain satu orang saksi resmi, di setiap TPS kami punya lima sampai enam saksi bayangan untuk memastikan semua pendukung datang dan memilih,” kata Yahya. Pasukan lapangan ini dikendalikan dengan ketat dari markas Yahya di kantor pemenangan Partai Demokrat di area Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. ”Saya punya tim pengendali saksi yang turun memberikan pembekalan sampai ke bawah,” katanya lagi.
Choel Mallarangeng, Direktur Eksekutif Fox Indonesia, membenarkan ada banyak instrumen pemenangan yang digunakan tim SBY-Boediono. ”Kami perlu membekali tim lapangan dengan pengetahuan yang cukup mengenai kandidat kami,” ujarnya. Satu anggota tim, misalnya, mendapat puluhan buku tentang SBY. ”Mereka harus paham betul sebelum menemui masyarakat,” kata Choel.
Kepala Divisi Penelitian LP3ES Fajar Nursahid menilai faktor utama penentu kemenangan SBY adalah keunggulan pencitraan dirinya. ”Yudhoyono berhasil membentuk persepsi bahwa dialah calon yang paling memenuhi harapan publik,” katanya pekan lalu. Hasil exit poll lembaga ini, umpamanya, menunjukkan 27,5 persen pemilih SBY beralasan sosok mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan asal Pacitan ini ”berwibawa dan bijaksana”.
Persepsi positif atas SBY itu ditunjang opini publik bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih baik. ”Ada korelasi langsung antara kepuasan publik atas kondisi ekonomi dan kecenderungan responden memilih SBY,” kata Fajar. Sebaliknya, orang yang menilai kondisi ekonomi buruk hampir pasti memilih Megawati.
Di Palembang, Iyus, tukang becak yang biasa mangkal di lorong Mayor Mahidin, Ilir Timur, mengaku memilih SBY karena mendapat dana Bantuan Langsung Tunai. ”Calon lain belum tentu melanjutkan program seperti ini,” katanya. Pengakuan serupa muncul di hampir semua lokasi yang ditelusuri Tempo.
Fajar mengakui, jika pemilih rasional memberikan suara berdasarkan keberhasilan program pemerintah, seharusnya Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mendapat poin tidak sedikit. ”Namun tampaknya dia gagal mengkapitalisasi modal politik ini,” katanya.
Kampanye Kalla yang gencar mengumumkan jasanya sebagai penggerak kebijakan Bantuan Langsung Tunai, pembagian kompor dan tabung gas gratis, serta penyediaan listrik dinilai terlambat. Survei menunjukkan 51,7 persen pemilih sudah menentukan sikap sebelum kampanye dimulai. ”Jumlah pemilih rasional yang menentukan sikap setelah mendengar kampanye paling banyak 20 persen,” ujarnya.
Kalla juga dirugikan oleh citra di masyarakat bahwa pemerintah itu identik dengan presiden, bukan wakilnya. ”Jadi JK tidak mendapat bagian suara dari kepuasan publik atas baiknya ekonomi,” kata Fajar.
Kampanye Mega-Prabowo yang galak menyerang untuk menjatuhkan citra SBY juga tak mempan buat mempengaruhi pemilih. ”Bahasa politik mereka tidak nyambung dengan publik,” kata Saiful Mujani. ”Ada bahasa politik di masyarakat, seperti jangan grusa-grusu, alon-alon asal kelakon, yang membuat publik merasa lebih cocok dengan SBY,” ujarnya.
Hal itu terbukti di lapangan. Di Medan, suami-istri Zainal dan Naimah kompak memilih SBY-Boediono pada 8 Juli lalu. ”Soalnya dia kalem,” kata warga Pulo Brayan Darat, Medan Timur, ini. Di Kediri, Jawa Timur, Budi Sutrisno, warga Banaran, Pesantren, terus terang mengaku mencontreng SBY karena ”pendiam dan tak banyak omong”.
Pengamat sosial Universitas Airlangga, Daniel Sparringa, menegaskan bahwa hasil pemilihan presiden dua pekan lalu menunjukkan publik tidak suka pilihan baru. ”Masyarakat agak phobia terhadap diskontinuitas,” katanya. Era reformasi 10 tahun terakhir yang penuh ide dan eksperimen politik serta ekonomi baru, menurut Daniel, menimbulkan trauma. Orang tak mudah percaya kepada tawaran jalan pintas. ”Memulai sesuatu yang baru berongkos pada hilangnya waktu,” katanya. ”Bagi masyarakat, itu ongkos yang terlalu berat.”
Wahyu Dhyatmika, Arif Ardiansyah (Palembang), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Rofiqi Hasan (Denpasar), Irmawati (Makassar), Nanang Sutisna (Subang), Hari Tri Wasono (Blitar), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Alasan utama memilih pasangan calon presiden (%)
Berpengalaman
Berwibawa
Jujur
Merakyat
Kapan Masyarakat Untuk Memilih (%)
Cara Kampanye yang Paling Efektif Menarik Hati Pemilih (%)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo