Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Legitimasi Palsu dari Universitas

Tak hanya membahayakan kebebasan akademis, upaya menjadikan kampus sebagai tukang stempel kebijakan akan membawa kita ke era jahiliah. Sudah saatnya kampus bersuara, menolak menjadi tukang stempel kebijakan. 

9 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Praktik kooptasi itu terlihat dari mobilisasi sejumlah kampus dalam revisi UU PPP dan RUU IKN.

  • Eksekutif dan legislatif mengklaim syarat partisipasi publik telah terpenuhi.

  • Kampus dan para dosen sudah selayaknya menolak revisi UU PPP.

KOOPTASI yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kalangan akademikus dan universitas tidak boleh didiamkan. Tak hanya membahayakan kebebasan akademis, upaya menjadikan kampus sebagai tukang stempel kebijakan juga akan membawa kita ke era jahiliah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Praktik kooptasi itu terlihat dari mobilisasi sejumlah kampus dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemerintah dan DPR melibatkan para dosen untuk memuluskan revisi aturan yang akan melegalkan mekanisme pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Begitu pula dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, yang berlangsung kilat—hanya 42 hari. Pemerintah dan DPR memang mengundang 26 akademikus, tapi masukannya diabaikan. Meski begitu, eksekutif dan legislatif mengklaim syarat partisipasi publik telah terpenuhi.

Padahal MK menyatakan partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang diutamakan bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung atau memiliki perhatian terhadap aturan. Partisipasi ini pun harus memenuhi tiga prasyarat, yakni hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan. Pengabaian terhadap syarat tersebut akan membuat produk hukum yang dihasilkan menjadi cacat prosedur dan tak berorientasi pada kepentingan publik.

Partisipasi publik abal-abal yang digalang pemerintah dan DPR terlihat dari nihilnya ahli hukum tata negara dan administrasi negara dalam roadshow penyusunan naskah akademik revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mereka yang diundang adalah ahli hukum pidana, bisnis, dan pertanahan yang tidak terkait dengan tata cara pembentukan undang-undang. Di sini, partisipasi hanya dimaknai sebagai jumlah orang yang diundang dalam seminar.

Sulit untuk tak menangkap kesan bahwa revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan akal-akalan pemerintah dan DPR untuk menyiasati putusan MK soal UU Cipta Kerja. Alih-alih memperbaiki prosedur dan mekanisme pembahasan, pemerintah dan DPR memilih jalan pintas dengan melegalkan metode omnibus dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

Kampus dan para dosen sudah selayaknya menolak revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mereka perlu menyadari bahwa revisi tersebut merupakan bagian dari skenario mengegolkan lagi UU Cipta Kerja yang diprotes banyak kalangan. Kampus sebagai penjaga moral publik harus berada di barisan terdepan penolak undang-undang yang bermasalah.

Melihat kecenderungan belakangan ini, upaya menjadikan kampus dan kalangan akademikus sebagai pemberi legitimasi kebijakan bisa terjadi lagi. Sayangnya, rektor, yang menjadi simbol misi suci universitas, sebagian malah memilih mengikuti agenda penguasa. Sejumlah kampus melarang mahasiswa berunjuk rasa ataupun menggelar diskusi soal kebijakan pemerintah.

Sudah saatnya kampus bersuara, menolak menjadi tukang stempel kebijakan. Sebaliknya pula, pemerintah dan DPR harus menghentikan upaya mendapatkan legitimasi palsu dari universitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus