Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Remy Sylado
Panggilannya tidak pernah berubah: Om Liem!
Pada tahun 2006 ini dia bisa merayakan tahun baru Imlek dengan lebih aman. Rumahnya di wilayah pecinan di Semarang kebetulan diramaikan dengan pesta Semawis, nama kota ini secara krama. Ant-ara lain dijajar di situ serba gastronomi khas San Bao Lung, nama kota ini secara Cina. Menyukacitakan hatinya, sebab keadaan ini tidak mungkin terjadi sepanjang tiga setengah dasawarsa penjajahan Orde Baru—yang sama suramnya dengan tiga sete-ngah abad penjajahan Belanda dan tiga setengah tahun penjajahan Jepang—ketika budaya Cina dibunuh secara sistematis, dan pikir-annya terani-aya namun ji-wa-nya ti-dak binasa.
Tapi bukan itu yang menarik tentang Om Liem. Yang menarik adalah keteguhannya memegang adat dan leluri Cina meliputi keyakinannya tentang kebajikan. Bahwa, kendati-pun pada masa kekuasaan Orde Baru itu berlangsung penindasan terhadap keyakinannya, toh sema-ngat dalam jiwanya untuk men-ja-ga kelestarian feng-su yang adat, dan chuan tong yang leluri dari wa-ris leluhur, perikewajiban meraya-kan tahun baru Imlek, terus hidup dalam jiwanya itu. Ikhtiar ini dilaksanakannya dengan setia sekaligus tertutup.
Dia melakukan ritual-ritual itu secara tertutup, sebab dia maklum keadaan anti-Cina saat itu demi-ki-an gawat. Sekarang, sebetulnya dia tahu juga bahwa peristiwa 14 Mei 1998 seperti peristiwa 9 Okt-ober 1740 itu rentan berulang. Ya-itu, selama masih ada jarak prasangka rasial yang diperburuk oleh realitas miskin papa dan terlunta-luntanya rakyat akibat teganya pemerintah menaikkan harga bahan bakar mi-nyak dan tarif listrik, lalu para wakil rakyat di DPR se-akan-akan pekak, budek, pongo terhadap suara rakyat yang adalah sua-ra Tuhan. Jadi, peristiwa biadab itu memang rentan, dan ibarat api dalam sekam kalau pemerintah cuma berpikir sekadar pintar tapi tidak arif bernurani melihat kesengsaraan rakyat. Di dalam benak Om Liem sendiri, selain rasa aman merayakan Sin-Cia, ternyata ada juga rasa waswas melihat keadaan sekarang ini.
Om Liem pekerja keras. Ini adalah ciri kasatmata dari kemanusiaan Cina yang elok diteladani. Tak mengherankan dari hasil kerja kerasnya itu dia menjadi kaya. Setiap tahun baru Imlek dia membagikan hadiah dari hasil kerjanya itu kepada orang-orang. Hadiah itu disebut ang-pau. Sementara anak-anaknya sudah muncul pagi-pagi memberi salam kepadanya. Leluri yang bagus ini disebut pai ciah. Ucapan yang lazim dilafalkan di situ adalah ”Guai luk sin nien”, atau ”Sin cun kiong hie”. Yang muda berlutut dengan salam enam kali di depan ayah dan tiga kali di depan ibu.
Menjelang tahun baru, Om Liem dan orang Cina lain yang masih berpegang teguh pada adat dan leluri melangsungkan sembahyang memuja Dewa Dapur Zao Jun Ye (Hok-Kian: Ciau Kun Ya) di rumahnya. Biasanya di kelenteng ti-dak dilakukan pemujaan kepada dewa ini. Tapi khususnya di Semarang, di Kelenteng Tay Kak Sie yang tak jauh dari rumah Om Liem, patung Zao Jun Ye terlihat di pintu masuk, dan kedudukannya disejajarkan dengan San Guan Ta Di (Hok-Kian: Sam Koan Tay Te) yang penguasa langit, bumi, dan air.
Ritual sembahyang bagi Dewa Da-pur diartikan sebagai perjanj-ian rohani kepada Yu Huang Shang Di (Hok-Kian: Giok Hong Siang Te) yang penguasa tertinggi alam se-mes-ta, untuk memperbaiki kesalah-an-kesalahan zahir dan pelanggar-an-pelanggaran batin yang telah dilakukannya sepanjang tahun. Dia membakar hio, batang dupa yang wangi itu, dan memberi sesaji kepada sang Zao Jun Ye.
Mulut patung Zao Jun Ye itu di-leletinya madu dan air gula. Ini tra-disi lama yang dipeliharanya. Meleletkan madu dan air gula di mulut Dewa Dapur ini maksudnya agar, jika sang dewa melapor kepada Yu Huang Shang Di mengenai perbuatan dan tindakan-tindakannya selama setahun berselang, cerita dirinya akan melulu yang manis-manis saja.
Juga kepada Zao Jun Ye diberikan minuman keras, arak, jiu atau ciu supaya—dalam kepercayaan Cina—jika Dewa Dapur mabuk atau teler akibat minuman keras itu, laporannya kepada Yu Huang Shang Di tentang dirinya akan ngaco dan ngawur, dan itu artinya kesalahan-kesalahan dan ber-bagai pelanggarannya tak tersampaikan dengan wajar.
Sembahyang menjelang tahun baru ini dilakukan pada tanggal 24 Cap Ji Gwe, disebut Siang-Ang. Bertalian de-ngan itu, semua patung peranti pemujaan harus dibersihkan agar roh-rohnya yang suci bisa naik dengan baik ke surga, ka-hya-ng-an, langit.
Pada pekan berikutnya, tanggal 30 Cap Ji Gwem, rumah Om Liem dan rumah-rumah orang Cina lain yang teguh menjaga adat dan leluri ditata ulang: genteng yang bocor diganti, pintu, jendela, dan dinding dicat lagi. Sembahyang-annya disebut Ne-Bwe. Setelah itu, barulah dilangsun-gkan sembahyang menyongsong tahun baru, naiknya Da Bo Gong (Hok-Kian: Toa Pek Kong). Sosok yang disebut ini hanya populer di Indonesia dan Malaysia dan tidak di daratan Cina, Tiongkok, Chung Kuo, Zhong Guo.
Lantas, tiba pada perayaan tahun baru, di meja makan Om Liem terhidang irisan ikan mentah dengan sayur dan saus kacang. Makanan ini disebut yu-sheng, harfiahnya ber-arti bertambahnya kehidupan. Sebelum menyantapnya, terlebih dulu Om Liem menyumpit yu-sheng lantas menaikkannya di depan kepala sembari mengucapkan ”lao qi”, harfiahnya berarti ”sendoklah ke atas”, dan maknanya meningkatkan kemakmuran.
Kemakmuran bagi orang Cina amatlah penting. Dari Kong Hu Cu yang oleh penganutnya disebut ”nabi”, orang-orang Cina mengh-afal kata-kata bijak ini, ”Kemakmuran bangsa dimulai dari kemakmuran diri pribadi.”
Salah satu ciri kemakmuran tentulah kekayaan. Setidaknya itu sudah dicapai Om Liem. Orang Cina memiliki perangkat pengetahuan empirik tentang strategi bisnis yang sudah tertata. Sendi pokoknya diingat dengan kepandaian bertindak cepat, menggunakan akal, keberanian dalam inovasi, lentur di dua arah wicara, lihai memanfaatkan kesempatan, menjaga reputasi, mempertahankan kualitas. Teladan populer menyangkut sendi pokok ini antara lain tersua dalam cerita Liu Bao, tukang babi pada zaman dinasti Wei Utara, 386-534 M. Di daerah babi hitam dia menjual babi putih, dan di daerah babi putih dia menjual babi hitam. Yang direka dari teladan ini adalah pelajaran tentang kreativitas sebagai kiat produktivitas.
Kebetulan Om Liem penganut Kong Hu Cu, salah satu dari tiga agama leluhur Cina Han San Wei Yi (Hok-Kien: Sam Kau It Kau) selain Tao dan Buddha. Dikiaskan oleh Wing-Tsit-Chan dalam Religious Trends in Modern China bahwa Kong Hu Cu adalah ibarat mahkota di kepala, Tao adalah sabuk di pinggang, dan Buddha adalah kasut di kaki. Citra itu yang melatari kemanusiaan Cina menyangkut ketertibannya yang istimewa dalam mengatur kehidupan insaninya, keluarga, kerja, niaga, dan seterusnya. Setelah sebagian dari mereka menjadi Ji-Du-Jiao atau Kristen dan Tian-Zhu-Jiao atau Katolik, sikap-sikap memuliakan adat dan leluri waris leluhur itu lantas dihayati sebagai tamadun, budaya, kultur.
Tampaknya Katolik pun memberi ruang pada adat dan leluri Han San Wei Yi itu. Gereja Katolik Keluarga Kudus di Rawamangun, mi-salnya, pada misa menyambut tahun baru di 2006 ini menata interiornya, termasuk altarnya, dengan dekor ke-lenteng. Liturginya pun dilengkapi dengan puluhan pemusik yang memainkan instrumen-instrumen Cina yang khas berskala huang-mei-tiau, nada-nada kromatik yang menjadi eksperimen slendro. Para petugas misa juga mengenakan pa-kaian Cina yang serba merah. Ada yang memakai topi dengan to-cang atau kuncir palsu—persis sepe-rti yang dipakai pramuniaga Carrefour pekan silam—yang merupakan ciri dinasti Qing sebelum Cina menjadi republik.
Apakah potret itu lantas boleh ditafsirkan sebagai langkah sinkretisme antara Han San Wei Yi dan Tian Zhu Jiao? Yang jelas, orang Cina memang sangat fleksibel, menjunjung susila, tanggap terhadap per-ubahan, dan juga materialistis sehingga acap kali memandang orang lebih pada manfaat ketimbang martabat atau lebih pada harta ketimbang harkat. Setidaknya kesan itu ada juga dalam diri Om Liem.
Sebelum pidato Bung Karno tentang Manipol yang menyu-ruh bangsa memiliki kepribadian nasional, nama Om Liem dari ayahnya adalah Liem Tjing An. Pada masa Orde Baru, di kartu namanya tertera namanya: Antono Salim d/h Liem Tjing An. Begitu Gus Dur mencabut Inpres 14 Tahun 1967, di kartu namanya sekarang tertera namanya: Liem Tjing An d/h Antono Salim.
Panggilannya saja yang tidak berubah: Om Liem!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo