Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Harymurti
Pada saat para wartawan merayakan Hari Pers Nasional di Bandung, Kamis lalu, sebuah berita menggembirakan tersiar dari Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Majelis hakim agung di benteng terakhir keadilan Indonesia itu memutuskan menerima permohonan kasasi saya dalam kasus pemberitaan di majalah Tempo yang didakwa telah mencemarkan nama baik Tomy Winata dan mengakibatkan terjadinya keonaran.
Saya tentu senang dengan vonis bebas murni yang dijatuhkan sebagai pengganti hukuman satu tahun penjara yang diberikan pengadilan negeri Jakarta Pusat dan diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu. Namun, yang lebih membuat saya jauh lebih bahagia adalah sikap MA yang mendahulukan UU Pers ketimbang KUHP dalam pertimbangan hukum di balik keputusan itu.
Sikap ini mudahmudahan akan menjadi yurisprudensi terhadap kasus pers di masa depan. Sekaligus juga mengklarifikasi silangsengkarut pendapat tentang apakah UU No 40 Tahun 1999 adalah undangundang khusus atau bukan. Ini perdebatan yang cukup sengit yang melibatkan wartawan, pemerhati, serta aparat hukum dan para pakar. Prof Dr Rudy Satrio, guru besar hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, misalnya, telah memberikan kesaksian di bawah sumpah yang menyatakan UU Pers adalah lex specialis. Di pihak lain, Prof Dr Muladi, guru besar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, berpendapat sebaliknya.
Perdebatan akademis dua pakar tentu suatu hal biasa dan merupakan bagian dari proses kemajuan ilmu pengetahuan. Yang tidak diperbolehkan adalah bila perbedaan itu dibiarkan masuk ke wilayah penegakan hukum. Dalam kasus yang menyangkut pers misalnya, jelas akan menerbitkan ketidakpastian hukum bila seorang wartawan yang menjalankan tugasnya sesuai dengan UndangUndang Pers namun didakwa melakukan pelanggaran terhadap KUHP ternyata nasibnya bergantung pada latar belakang tempat pendidikan majelis hakim yang mengadilinya. Bila hakimnya kebetulan alumni Fakultas Hukum UI, ia diputus bebas. Tapi, kalau sang hakim lulusan Universitas Diponegoro, ia divonis masuk penjara.
Ini bukan sekadar persoalan hipotetis. Dalam kenyataannya, ketidakpastian hukum ini telah terjadi. Beberapa hakim seperti A. Fadlol Tamam, Berlin Damanik, dan Sukarman Sitepu di Pengadilan Negeri Bandung, juga Binsar Gultom di Pengadilan Negeri Medan, yakin bahwa UU No 40 Tahun 1999 adalah lex specialis. Karena itu, setiap menghadapi perkara pemberitaan, mereka selalu menggunakan UU Pers.
Namun sial bagi Dahri Umum Nasution dan Daham Siregar, wartawan SKM Oposisi. Kendati ia diadili di Pengadilan Negeri Medan, hakimnya bukan Binsar Gultom, melainkan oleh majelis hakim yang dipimpin Azis Syarief. Akibatnya, mereka pun divonis masuk bui.
Risang Bima Wijaya, wartawan harian Radar Yogya, termasuk yang juga bernasib apes. Risang berhadapan dengan majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman yang dipimpin Djoko Sediyono, yang menyatakan pemberitaannya melanggar KUHP hingga ia divonis 9 bulan penjara. Vonis serupa dijatuhkan pula kepada wartawan tabloid Koridor, Darwin Ruslinur dan Budiono Saputra, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang dipimpin Iskandar Tjakke. Karim Paputungan dan Supratman, wartawan harian Rakyat Merdeka, yang diadili dalam perkara terpisah oleh majelis hakim pimpinan Zoeber Djajadi dan Asnahwati di PN Jakarta Selatan, termasuk yang buruk pula nasibnya.
Memang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, entah mengapa, dikenal punya reputasi gemar menghukum wartawan, sehingga mendapat julukan tak resmi sebagai kuburan pers. Mudahmudahan saja citra buruk ini segera akan berubah. Sebab, sejak pekan lalu pengadilan negeri ini resmi dipimpin Andi Samsan Nganro, yang dikenal berkeyakinan UU Pers adalah lex specialis.
Perubahan positif ini tentu diharapkan tak hanya terjadi di Jakarta Selatan, tetapi di seluruh penjuru negeri. Harapan ini bukan tanpa dasar. Dalam pidato pengarahan di depan peserta Rapat Kerja Mahkamah Agung di Bali, September tahun lalu, Ketua MA Bagir Manan telah meminta jajaran hakim mempertimbangkan pentingnya menjaga kemerdekaan pers dalam mengambil keputusan yang menyangkut pemberitaan. Ia sempat mengingatkan jajarannya bahwa kemerdekaan hakim dalam menjalankan profesinya juga akan hilang bila pers nasional kehilangan kebebasannya.
Bagir Manan, yang juga menjadi ketua majelis hakim perkara Tempo dengan anggota Djoko Sarwoko dan Harifin A. Tumpa, rupanya telah mempraktekkan arahan itu. Ia juga secara terbuka telah menyatakan harapannya agar putusan ini menjadi yurisprudensi. Bila ini menjadi kenyataan, bukan hanya para jurnalis yang berkantor di Jakarta Selatan yang tak perlu lagi merasa khawatir masuk penjara karena menjalankan tugas profesinya menurut Kode Etik Wartawan Indonesia, melainkan di seluruh Indonesia.
Dukungan positif MA terhadap kemerdekaan pers jelas bukan tanpa syarat. Seperti dikatakan Hakim Agung Djoko Sarwoko kepada para wartawan, untuk melindungi jurnalis dalam melaksanakan tugasnya seperti dijamin dalam pasal 8 UU Pers, majelis hakim mengutamakan UU Pers dalam menyidangkan perkara pemberitaan media. Ucapan ini bisa ditafsirkan bahwa penerapan KUHP hanya ”dikebelakangkan”, bukan ”disingkirkan” seperti yang dimaksudkan dalam asas lex specialis derogat generali yang tercantum pada pasal 63 KUHP. Setidaknya kesan itu yang muncul setelah membaca pertimbangan majelis hakim yang menyatakan ”insan pers wajib dilindungi sejauh sudah melakukan tugasnya sesuai dengan etika jurnalistik.”
Bila tafsiran ini benar, tentu muncul pertanyaan apakah MA masih memberikan peluang hukum untuk mempidana wartawan karena karya jurnalistiknya dan sejauh mana peluang itu dibuka? Jawaban atas pertanyaan ini diperlukan untuk memberikan rasa aman kepada para wartawan yang oleh UU Pers diamanatkan untuk, antara lain, melaksanakan kontrol sosial serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Menjalankan amanat UU ini secara konsekuen mau tak mau sangat berisiko membuat ada anggota masyarakat yang merasa nama baiknya dicemarkan, bahkan difitnah, lalu melaporkan dugaan pelanggaran KUHP ini ke polisi.
Di lain pihak, hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan atas reputasi dan privasinya tentu harus turut dipertimbangkan. Harus diakui tindakan wartawan yang kurang mengindahkan kode etik jurnalistik dalam melakukan tugasnya sangat berpotensi mencederai hak mendasar ini. Lantas sanksi apa yang dapat diterapkan terhadap para jurnalis yang melanggar etika profesinya dan imbalan apa yang dapat diberikan kepada para korban malapraktek para wartawan?
UndangUndang Pers jelas tidak memberikan sanksi secara langsung kepada para wartawan yang melanggar kode etik jurnalistik, melainkan pada penerbitnya. Prinsip ini diterapkan karena karya jurnalistik selalu bersifat kolektif, melibatkan banyak orang yang bekerja di sebuah perusahaan media. Menurut pasal 18 ayat 2 pada UU No 40 Tahun 1999, penerbit yang terbukti melanggar kaidah jurnalistik dalam pemberitaannya dapat terkena pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Pelanggaran ini misalnya karena menolak melayani hak jawab atau memberikan hak jawab tidak sesuai Kode Etik Wartawan Indonesia yang berlaku.
Hak jawab wajib dilayani media karena cara inilah yang dianggap paling tepat untuk memulihkan reputasi seseorang yang menjadi korban pemberitaan yang melanggar etis. Adapun kerugian material yang diderita, selama bisa dibuktikan, dapat diminta ganti ruginya melalui gugatan perdata. Memang terhadap argumentasi ini, kalangan yang antikebebasan pers sering mengatakan cara ini tidak adil karena kerusakan telah terjadi (damage has been done). Alasan seperti ini mengabaikan kepentingan publik yang mendapat maslahat banyak dari terbuka lebarnya akses informasi oleh kegiatan pers yang merdeka. Lagi pula penerapan sistem pengadilan pidana terhadap pers yang diminta kalangan ini pun tidak menghilangkan unsur damage has been done itu.
Argumen lain yang juga kerap diutarakan kelompok antipers bebas, yang berkehendak memberlakukan KUHP pada pers, adalah: bila UU Pers lex specialis, wartawan mendapatkan hak istimewa. Pendapat seperti ini biasanya berasal dari kelompok yang tidak menyadari bahwa di negara maju yang demokratis praktis tak ada lagi pemidanaan pada wartawan karena karyanya. Kalangan ini juga sering mengeluhkan bahwa pers di Indonesia telah kebablasan dan tak mengetahui bahwa peringkat kebebasan pers di Indonesia tahun lalu berada pada posisi 105 dari 167 negara yang disurvei Reporters Sans Frontier, sebuah lembaga nirlaba yang memonitor kemerdekaan pers di dunia.
Kelompok ini tidak sadar bahwa di Indonesia selama ini profesi jurnalistik justru sangat dianaktirikan dibandingkan profesi lain yang menyangkut kepentingan umum kendati telah mempunyai UU Pers. Coba saja bandingkan dengan nasib seorang dokter yang tak akan dipidana karena membedah pasiennya dan mengakibatkan pasien itu mati, selama prosedur pembedahan itu mengikuti aturan kedokteran yang berlaku. Demikian pula seorang jaksa yang telah membuat surat dakwaan—yang jelasjelas memenuhi unsur pencemaran nama baik di KUHP—dan tak berhasil membuktikan dakwaannya itu di pengadilan tak akan dipidana selama proses pembuatan dakwaan itu mengikuti aturan baku di kejaksaan.
Bahkan hakim yang membuat keputusan yang menyebabkan seseorang kehilangan kemerdekaannya dan kemudian ternyata pengadilan tingkat atas menyatakan keputusan itu keliru pun tak akan dipidana selama keputusan itu diambil secara independen, yaitu mengikuti kode etik yang berlaku pada profesi hakim. Lantas mengapa wartawan yang melanggar KUHP dalam menjalankan tugasnya sesuai Kode Etik Wartawan Indonesia harus dikecualikan dari profesi yang lain?
Kini, melalui keputusan kasasi Tempo, Mahkamah Agung telah menjawab pertanyaan itu dengan memberikan kado istimewa di Hari Pers Nasional ke60. Sebab, dengan yurisprudensi ini perlindungan hukum pada profesi jurnalis di Indonesia pun tak lagi dianaktirikan dan berlaku setara dengan profesi lainnya yang menyangkut kepentingan umum. Maka selayaknya para wartawan seperti saya menyambut hadiah ini dengan sikap yang sepatutnya, yaitu dengan tekad tinggi untuk selalu menjunjung tinggi etika profesi dalam menjalankan tugas seharihari. Sebab, hanya dengan cara ini kemerdekaan pers dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara optimum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo