Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Seks

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gadis Arivia

  • Dosen tetap Filsafat UI; pendiri Jurnal Perempuan

    PARA pembuat kebijakan di negeri ini sedang gemar berbicara tentang seks. Hasil pemikiran seks mereka lalu dituangkan dalam sebuah rancangan undangundang yang terdiri dari 93 pasal dengan 11 bab. RUU Antipornografi dan Pornoaksi kirakira secara singkat isinya berkaitan dengan kekhawatiran atas eksploitasi tubuh, seksualitas, kecabulan, dan/atau erotika.

    Tujuan RUU tersebut adalah menegakkan moral bangsa. Bukan main! Mengingat pentingnya tujuan itu, tentu ganjaran terhadap pelanggar pasalpasal RUU ini juga tidak mainmain. Ganjaran berat telah dipersiapkan untuk membuat jera mereka yang doyan ngeseks!

    Namun, apakah benar bahwa pasal dalam RUU Antipornografi hanya diperuntukkan bagi mereka yang doyan ngeseks? Sebagian besar pasal yang disusun justru akan tertuju kepada perempuan muda dan ibuibu pada umumnya. Ibuibu yang senang berkebaya harus berhatihati karena bisa terkena pasal 79 mengenai penonjolan bagian tubuh tertentu yang sensual. Pelanggar pasal ini dapat didenda paling sedikit Rp 200 juta atau minimal dua tahun penjara.

    Nasib dipidana penjara dapat juga terjadi pada mereka yang mengenakan baju bodo dari Sulawesi Selatan (karena BHnya menerawang), atau perempuan dari daerah Wamena dan Bali yang bertelanjang dada. Menurut hemat saya, hanya garagara UU Antipornografi ini perempuan Indonesia bisa dibuat bangkrut oleh negara.

    RUU ini berbicara banyak tentang tubuh, terutama tubuh perempuan yang perlu direstriksi. RUU ini tidak membatasi tubuh lakilaki. Pada pasal 25 dan seterusnya, pengandaian tubuh sensual tentu dimaksudkan bagian tubuh perempuan. Pasal 25 tidak akan dianggap dilanggar bila terdapat seorang lakilaki yang memakai sarung bertelanjang dada ke warung.

    Artinya, RUU ini menguatkan stereotip bahwa payudara perempuan (juga paha, perut, dan pantat) mempunyai unsur kegairahan binal tertentu yang membahayakan lakilaki. Artinya, karena lakilaki tidak dapat menahan diri, RUU APP dibuat justru untuk melindungi lakilaki, dan bukan perempuan.

    Persoalan mendasar yang perlu dipikirkan dan dipertanyakan: apakah seks dan ketubuhan, yang merupakan komponen kuat dalam definisi pornografi dan pornoaksi, dapat dilarang sama sekali untuk orang dewasa? Kita telah sepakat bahwa pornografi harus dilarang untuk anakanak, dan karena itu kita memiliki UU No. 32/2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, apakah pornografi harus dilarang bagi orang dewasa, yang secara individu adalah makhluk otonom yang dapat membuat pilihanpilihan hidupnya sendiri?

    Seks dan ketubuhan tidak dapat dilarang bagi orang dewasa karena merupakan bagian yang alami dari manusia. Karena itu, yang sangat mungkin dilakukan adalah pengaturan distribusi mengenai pornografi, dan bukan pelarangan—apalagi antipornografi.

    Hal lain yang perlu dipertanyakan: apakah benar kekhawatiran para pembuat RUU ini murni untuk melindungi bangsa, seperti yang sering diucapkan oleh para tokoh moralis. Bila kita mencoba mencari pendasaran filosofis dari lahirnya RUU ini, alasan melindungi bangsa dengan argumen moral sangat lemah.

    Argumentasi untuk melahirkan sebuah RUU yang mempunyai semangat melindungi bangsa seharusnya berangkat dari orisinal permasalahan sosial, dan bukan moral. Bila dikatakan bahwa seks dan ketubuhan dapat merusak moral bangsa, perlu ditanyakan penelitian dan pembuktiannya. Bukankah perusakan moral bangsa justru terjadi karena kemiskinan yang berlarut, pendidikan yang terpuruk, dan korupsi yang menggerogoti kesejahteraan dan integritas bangsa? Variabelvariabel tersebut dapat diukur dengan jelas—bagaimana mengukur variabel moral?

    Sangat naif menganggap seks dan ketubuhan hanya mempunyai implikasi murni soal moralitas. Seks, ketubuhan, dan permasalahannya merupakan status kategori dengan implikasi politis. RUU yang disusun jelas memperlihatkan pola relasi berstrukturkekuasaan. Yakni struktur kekuasaan yang dominan menindas yang lemah.

    Artinya, pengaturan seks dan ketubuhan perempuan diatur oleh lakilaki, termasuk bagian tubuh mana yang boleh dilihat, ditonjolkan, dan sebagainya. Bisa jadi RUU ini juga memperlihatkan kekuasaan dominasi kelompok yang berlandaskan budaya patriarki. Budaya patriarki menyuburkan feodalisme dan mematikan kritisisme.

    Budaya patriarki bekerja sama dengan berbagai institusi untuk memasung kreativitas, membungkam kebebasan berekspresi, menggandeng bentuk pemerintahan yang mengusung nilainilai dominan, serta melanggengkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Secara historis, budaya patriarki menginstitusionalkan kekuatannya lewat sistem legalnya.

    Sistem hukum yang patriarkis mempunyai obsesi mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan serta menebarkan sikap misogini. Pada akhirnya, pemaksaan sistem legal yang patriarkis akan memakan korban, dan sering kali sosok lemah, misalnya Inul, yang menjadi korban pertama.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus