SEWAKTU 14 orang finalis Lombakarya Ilmiah untuk Remaja diundang
datang ke Jakarta untuk diwawancarai, sebagai ketua dewan juri
timbul was-was dalam diri saya. Terus terang saja saya takut
bahwa dari semua finalis itu ada 14 - 5 = 9 orang yang akhirnya
pulang ke rumah disambut dengan ejekan oleh teman-teman
sekelasnya, gurunya, bupatinya, dan gubernurnya.
Mengapa? Karena kesembilan orang itu tidak berhasil mendapat
hadiah dan oleh karena itu telah gagal mempertahankan nama baik
sekolalmya, kotanya, kabupatennya serta propinsinya.
Itulah sebabnya masa wawancara terhadap para finalis saya buka
dengan pesan kepada mereka-semua. Saya katakan bahwa juara
pertama pasti hanya ada satu orang. Oleh karena itu pasti juga
tigabelas peserta tidak akan menjadi juara pertama. Tetapi itu
tidak berarti bahwa mereka itu kalah dan gagal. Dalam penelitian
tidak ada istilah kalah atau menang. Yang ada hanya istilah
berhasil dan belum berhasil.
Kalau kita berhasil menemukan sesuatu kita telah memberikan
sumbangan pengetahuaul bagi masyarakat. Kalau belum berhasil,
kita harus bertekun agar pada suatu ketika kita juga berhasil.
Setelah berhasil, bukanlah pula saatnya untuk menjadi mangkak
karena kita tahu bahwa pada suatu saat orang lainlah yang akan
berhasil melampaui prestasi kita.
Kejutan, Internasioal
Dengan mengucapkan pesan-pesan itu legalah rasanya perasaan
saya. Saya tidak rela bahwa mereka yang belum berhasil menjadi
juara utama dijatuhi hukuman yang demikian beratnya oleh
lingkungan mereka. Andaikata itu terjadi, maka pada tahun yang
akan datang tidak ada lagi remaja yang berani mengikuti
lombakarya semacam itu. Apabila ini terjadi, malapetakalah
akibatnya bagi pengembangan ilmu dan tehnologi di Indonesia.
kelegaan perasaan saya itu akhirnya lenyap lagi. Ada harapan
dalam diri saya bahwa para wartawan sedikitnya akan menyinggung
masalah yang saya lontarkan itu. Tetapi itu hanya harapan
kosong. Bahkan yang ditonjolkan oleh para wartawan ketika
menjelang keberangkatan juara lombakarya itu ke Eropa justru
ialah suatu spekulasi yang terlalu muluk, seakan-akan mutiara
kita dari Jawa Timur akan membuat kejutan internasional di Paris
dengan meraih hadiah pertama. Terbayang lagi di ruang mata saya,
apakah ada lagi orang yang akan mengelukannya di Halim
Perdanakusumah sekembalinya dari Eropa tanpa memboyong hadiah
pertama, selain kerabatnya sendiri.
Itu sudah pernah terjadi dengan pemain bulutangkis, tetapi
mudah-mudahan itu jangan terjadi dengan remaja kita itu. Tetapi
andaikata itu terjadi, maka kesalahan harus kita bebankan
terhadap diri kita semua. Kesalahan itu bernama "terlalu banyak
harap bertiarap".
Pola harapan semacam ini sangat jelas tampak dalam bidang
olahraga. Mungkin juga dari situlah asalnya semua penyakit.
Dalam rapat-rapat tentang pengembangan kurikulum pendidikan
dasar dan menengah selalu timbul perdebatan tentang tujuan
pendidikan keolahragaan di sekolah. Apakah ditujukan untuk
pembinaan kesehatan ataukah untuk pembinaan prestasi
keolahragaan? Sering sekali pembinaan prestasi ingin
mendominasi. Mengapa'? Karena ukuran keberhasilan seorang
pelatih terletak pada kemampuannya mencetak seorang juara. Bukan
pada kemampuannya menarik sebanyak-banyaknya orang untuk
mencintai dan melakukan olahraga demi untuk menjaga kesigapan
fisik.
Pernah saya baca suatu iklan pelayanan dalam sebuah majalah
ilmiah luar negeri yang menyerukan agar semua orang berusaha
mempelajari satu jenis olahraga dengan sebaik-baiknya sehingga
olahraga itu menjadi teman bercengkermanya seumur hidupnya.
Jelas iklan itu tidak menyerukan agar setiap orang menjadi
juara, tetapi menyerukan agar setiap orang menguasai satu cabang
olahraga untuk pemeliharaan kesehatan tubuhnya. Dari penguasaan
itu akhirnya akan timbul kecintaan, dan dari kecintaan itu
sebagai hasil sampingan akan timbul juara-juara yang berani
bertanding karena kesenangan yang tidak diembel-embeli dengan
harapan mendapat hadiah dan keuntungan.
Kalau saja falsafah ini kita pakai, tidak ada pelatih yang takut
dipecat karena tidak menemukan atau mencetak seorang juara.
Tidak ada pula pemain yang mcnentang keputusan wasit karena ia
tidak bermain untuk janji hadiah uang. Tidak ada pula penonton
yang membuat onar, karena ia menonton sehab menyenangi olahraga
itu. Bukan menyenangi hasil pertaruhannya.
Sewaktu penyiar televisi mengumumkan bahwa pertandingan final
antara lima besar diakhiri dengan skor lima-nol selama satu
setengah menit bermain, maka terlintaslah di benak saya bahwa
dari pernyataan itu dapat disusun suatu kalimat yan berirama:
"Lima-nol ialah singkatan lima besar sama dengan nol besar".
Tidak salah nenek moyang kita berpepatah-petitih: "Kalau guru
kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari".
Kapan lagi kita tidak hanya mendengungkan tetapi juga
melaksanakan pernyataan: "Semoga regu yang terbaiklah yang
menang"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini