Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lima Nol: Lima Basar = Nol Besar

Ukuran keberhasilan pelatih terletak pada kemampuan mencetak juara, bukan pada kemampuannya menarik banyak orang untuk mencintai or. Di luar negeri tidak diserukan untuk jadi juara tapi mengusai 1 cabang olahraga.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEWAKTU 14 orang finalis Lombakarya Ilmiah untuk Remaja diundang datang ke Jakarta untuk diwawancarai, sebagai ketua dewan juri timbul was-was dalam diri saya. Terus terang saja saya takut bahwa dari semua finalis itu ada 14 - 5 = 9 orang yang akhirnya pulang ke rumah disambut dengan ejekan oleh teman-teman sekelasnya, gurunya, bupatinya, dan gubernurnya. Mengapa? Karena kesembilan orang itu tidak berhasil mendapat hadiah dan oleh karena itu telah gagal mempertahankan nama baik sekolalmya, kotanya, kabupatennya serta propinsinya. Itulah sebabnya masa wawancara terhadap para finalis saya buka dengan pesan kepada mereka-semua. Saya katakan bahwa juara pertama pasti hanya ada satu orang. Oleh karena itu pasti juga tigabelas peserta tidak akan menjadi juara pertama. Tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu kalah dan gagal. Dalam penelitian tidak ada istilah kalah atau menang. Yang ada hanya istilah berhasil dan belum berhasil. Kalau kita berhasil menemukan sesuatu kita telah memberikan sumbangan pengetahuaul bagi masyarakat. Kalau belum berhasil, kita harus bertekun agar pada suatu ketika kita juga berhasil. Setelah berhasil, bukanlah pula saatnya untuk menjadi mangkak karena kita tahu bahwa pada suatu saat orang lainlah yang akan berhasil melampaui prestasi kita. Kejutan, Internasioal Dengan mengucapkan pesan-pesan itu legalah rasanya perasaan saya. Saya tidak rela bahwa mereka yang belum berhasil menjadi juara utama dijatuhi hukuman yang demikian beratnya oleh lingkungan mereka. Andaikata itu terjadi, maka pada tahun yang akan datang tidak ada lagi remaja yang berani mengikuti lombakarya semacam itu. Apabila ini terjadi, malapetakalah akibatnya bagi pengembangan ilmu dan tehnologi di Indonesia. kelegaan perasaan saya itu akhirnya lenyap lagi. Ada harapan dalam diri saya bahwa para wartawan sedikitnya akan menyinggung masalah yang saya lontarkan itu. Tetapi itu hanya harapan kosong. Bahkan yang ditonjolkan oleh para wartawan ketika menjelang keberangkatan juara lombakarya itu ke Eropa justru ialah suatu spekulasi yang terlalu muluk, seakan-akan mutiara kita dari Jawa Timur akan membuat kejutan internasional di Paris dengan meraih hadiah pertama. Terbayang lagi di ruang mata saya, apakah ada lagi orang yang akan mengelukannya di Halim Perdanakusumah sekembalinya dari Eropa tanpa memboyong hadiah pertama, selain kerabatnya sendiri. Itu sudah pernah terjadi dengan pemain bulutangkis, tetapi mudah-mudahan itu jangan terjadi dengan remaja kita itu. Tetapi andaikata itu terjadi, maka kesalahan harus kita bebankan terhadap diri kita semua. Kesalahan itu bernama "terlalu banyak harap bertiarap". Pola harapan semacam ini sangat jelas tampak dalam bidang olahraga. Mungkin juga dari situlah asalnya semua penyakit. Dalam rapat-rapat tentang pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah selalu timbul perdebatan tentang tujuan pendidikan keolahragaan di sekolah. Apakah ditujukan untuk pembinaan kesehatan ataukah untuk pembinaan prestasi keolahragaan? Sering sekali pembinaan prestasi ingin mendominasi. Mengapa'? Karena ukuran keberhasilan seorang pelatih terletak pada kemampuannya mencetak seorang juara. Bukan pada kemampuannya menarik sebanyak-banyaknya orang untuk mencintai dan melakukan olahraga demi untuk menjaga kesigapan fisik. Pernah saya baca suatu iklan pelayanan dalam sebuah majalah ilmiah luar negeri yang menyerukan agar semua orang berusaha mempelajari satu jenis olahraga dengan sebaik-baiknya sehingga olahraga itu menjadi teman bercengkermanya seumur hidupnya. Jelas iklan itu tidak menyerukan agar setiap orang menjadi juara, tetapi menyerukan agar setiap orang menguasai satu cabang olahraga untuk pemeliharaan kesehatan tubuhnya. Dari penguasaan itu akhirnya akan timbul kecintaan, dan dari kecintaan itu sebagai hasil sampingan akan timbul juara-juara yang berani bertanding karena kesenangan yang tidak diembel-embeli dengan harapan mendapat hadiah dan keuntungan. Kalau saja falsafah ini kita pakai, tidak ada pelatih yang takut dipecat karena tidak menemukan atau mencetak seorang juara. Tidak ada pula pemain yang mcnentang keputusan wasit karena ia tidak bermain untuk janji hadiah uang. Tidak ada pula penonton yang membuat onar, karena ia menonton sehab menyenangi olahraga itu. Bukan menyenangi hasil pertaruhannya. Sewaktu penyiar televisi mengumumkan bahwa pertandingan final antara lima besar diakhiri dengan skor lima-nol selama satu setengah menit bermain, maka terlintaslah di benak saya bahwa dari pernyataan itu dapat disusun suatu kalimat yan berirama: "Lima-nol ialah singkatan lima besar sama dengan nol besar". Tidak salah nenek moyang kita berpepatah-petitih: "Kalau guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari". Kapan lagi kita tidak hanya mendengungkan tetapi juga melaksanakan pernyataan: "Semoga regu yang terbaiklah yang menang"?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus