Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHWA korupsi sudah lama menyelinap ke dalam tubuh kepolisian dan kejaksaan, kita mafhum adanya. Tapi, jika penyakit ini ditengarai mulai bersemi di sekitar Komisi Pemberantasan Korupsi-lembaga yang dibangun karena polisi dan jaksa dianggap tak mampu melawan kanker ini-komisi antikorupsi itu dan publik wajib waspada.
Sejumlah indikasi buruk muncul. Beberapa orang yang beperkara dengan Komisi mengaku didekati makelar. Para penghubung itu menjanjikan bisa membantu menghentikan kasus atau "membeli" hukuman ringan asalkan para tertuduh membayar uang sogok. Sang calo mengklaim punya kenalan "orang dalam". Dalam uraian biaya yang mereka ajukan kepada kliennya disebutkan bahwa uang itu akan disetor kepada pejabat Komisi: dari pimpinan, penyidik, sampai pegawai rendahan.
Nama-nama makelar sebelumnya sudah ramai dibicarakan di media massa. Di antaranya Ary Muladi dan Eddy Sumarsono-dua orang yang terlibat dalam rencana suap Anggodo Widjojo kepada pimpinan Komisi. Anggodo adalah adik Anggoro Widjojo, pemimpin PT Masaro Radiokom, yang kasusnya sedang disidik komisi antikorupsi. Kasus suap ini meledak akhir tahun lalu dan memunculkan konflik Komisi dan kepolisian-sesuatu yang belakangan terkenal dengan sebutan "Cicak versus Buaya".
Yang juga diduga beraksi sebagai makelar adalah Yudi Prianto. Ini yang gawat: Yudi adalah anak Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Tahun lalu, bersama pemimpin Komisi lainnya, Chandra M. Hamzah, Bibit ditahan aparat karena dituduh menerima suap Anggodo-sesuatu yang belakangan tidak terbukti.
Bermodal status sebagai anak Bibit, Yudi beraksi. Uang kabarnya mengalir ke kantongnya. Dugaan kedekatan Yudi dan Ary Muladi menimbulkan spekulasi bahwa Yudi sebenarnya adalah Yulianto-orang yang disebut Ary sebagai perantara dia dan pimpinan Komisi dalam kasus suap Anggodo. Ketika itu, banyak yang percaya Yulianto hanyalah tokoh rekaan Ary agar ia lepas dari jerat hukum. Sampai sekarang, Yulianto yang asli tak kunjung ditemukan.
Belum ada bukti Bibit memberikan restu atas aksi anaknya. Juga tak ada fakta Bibit kecipratan fulus haram. Yudi memang pernah mengeluh kepada kliennya tentang bapaknya yang sakit dan butuh uang. Tapi belum bisa disimpulkan Yudi bergerak atas permintaan sang bapak. Sejauh ini, klien yang mengaku membayar suap ternyata tidak bebas dari tuduhan komisi antikorupsi.
Tapi potensi konflik kepentingan harus dicegah. Korupsi harus dihadapi dengan semacam "wasangka" agar setiap kemungkinan penyelewengan bisa dieliminasi sejak awal. Bibit tak pernah punya "cacat" di Komisi. Ia harus menjaga prestasi itu, dengan cara tidak membiarkan siapa pun mencatut namanya. Ia tak boleh menjadi faktor penghalang bagi Komisi untuk menindak kasus anaknya. Untuk mencegah konflik kepentingan, apa boleh buat, Bibit disarankan mundur dari jabatannya. Kredibilitas Komisi perlu diletakkan di atas segalanya, dengan pengorbanan apa pun. Yudi harus diperiksa lagi.
Tak perlu pula menunda-nunda menetapkan makelar lain sebagai tersangka. Jika bukti sudah cukup, segera cokok mereka dan kirim ke tahanan. Tindakan Komisi menangkap Anggodo Widjojo dengan tuduhan percobaan penyuapan layak dipuji. Hal yang sama mestinya diterapkan untuk Ary Muladi dan kawan-kawan. Membiarkan Ary tetap bebas hanya membuat publik curiga: jangan-jangan ada sesuatu antara Ary dan Komisi.
Komisi Pemberantasan Korupsi perlu melakukan investigasi internal untuk menelisik kebocoran informasi di lembaga itu. Para makelar nyata-nyata memiliki informasi seputar kasus para tersangka. Mereka tahu persis harta kekayaan sang klien, jadwal pemeriksaan, dan konstruksi kasus yang tengah dihadapi. Informasi dari "dalam" itulah yang membuat klien percaya para makelar memang punya koneksi orang penting. Sistem internal Komisi ini harus diperbaiki.
Dalam sejarahnya, Komisi memang tak selalu mendapatkan personel yang terbaik-salah satu hal yang diharapkan bisa menjamin lembaga itu bebas dari perselingkuhan. Terlibatnya polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut di Komisi banyak dikeluhkan sebagai titik lemah lembaga antikorupsi ini.
Karena itu, ide agar Komisi memiliki penyidik sendiri layak dibicarakan kembali. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebetulnya memberikan peluang kepada Komisi untuk secara independen merekrut penyidik. Dengan personel yang dibina dari bawah, diharapkan lembaga ini lebih imun terhadap "musuh dalam selimut".
Komisi Pemberantasan Korupsi mesti tetap bersih agar punya legitimasi kuat untuk menggempur korupsi. Karena itu, makelar kasus di sekitar KPK harus ditumpas sejak masih kecambah. Jangan biarkan mereka tumbuh, apalagi sampai berurat dan berakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo