Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh membuat komisi antikorupsi itu melempem. Dengan empat pemimpin definitif seperti sekarang, semestinya tak ada halangan bagi Komisi untuk bekerja semakin giat dan berani. Tak satu pun aturan dalam Undang-Undang KPK menyebutkan putusan Komisi mesti ditetapkan oleh lima orang pemimpin.
Alasan DPR menolak Perpu mungkin benar, yaitu materinya sudah kehilangan urgensi. Diterbitkan September tahun lalu, Perpu Nomor 4/2009 itu sesungguhnya hanya untuk sekali pakai, yakni mengisi posisi tiga dari lima pemimpin Komisi yang nonaktif lantaran kena perkara. Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dua wakil ketua, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang-yang belakangan tak terbukti.
Kita tahu hanya Antasari yang kemudian menjadi terdakwa (bahkan terpidana) dan karena itu resmi dicopot dari kursinya. Adapun Chandra dan Bibit, karena kasusnya dihentikan, kembali menjadi Wakil Ketua Komisi. Dengan masuknya lagi Chandra dan Bibit, Mas Achmad Santosa dan Waluyo berhenti. Mas Achmad dan Waluyo diangkat lewat Perpu untuk menggantikan sementara kedua Wakil Ketua Komisi tadi.
Bagaimana nasib Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, yang diangkat melalui Perpu untuk menggantikan Antasari? Ada dua pendapat beredar. Pertama, bila Perpu ditolak, otomatis Tumpak kehilangan dasar hukum untuk terus memimpin Komisi. Tumpak harus segera mundur. Pendapat kedua, meskipun Perpu ditolak, penolakan ini tidak berlaku surut, tidak membatalkan pejabat yang diangkat lewat Perpu itu. Artinya, jika berpegang pada pendapat kedua, Tumpak tak perlu mundur. Dia bisa meneruskan masa jabatan Ketua KPK sampai tahun depan.
Seandainya pun Tumpak harus lengser, pemerintah punya syarat lain. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mensyaratkan pemberhentian Tumpak mesti menunggu disahkannya Undang-Undang Pencabutan Perpu. Berdasarkan undang-undang itu, Presiden kelak mengeluarkan keputusan pemberhentian Tumpak.
Debat bisa berkepanjangan. Perlu diingat, Komisi dan para aktivis antikorupsi dulu menolak keras Perpu. Peraturan yang dikeluarkan presiden itu dianggap bentuk intervensi terhadap Komisi. Jika ingin konsisten dengan sikap ini, Tumpak mestinya memilih mundur. Lagi pula, misalkan Tumpak tetap bertahan dengan alasan menunggu disahkannya Undang-Undang Pencabutan Perpu, ada risiko besar. Para koruptor yang kasusnya tengah ditangani Komisi, misalnya, bisa menggugat putusan Komisi sebagai tidak sah dengan dalih keabsahan posisi Tumpak itu. Celah ini perlu ditutup rapat. Tumpak sejauh ini tak punya catatan tercela di Komisi. Tapi ia perlu segera meletakkan jabatannya, demi menghindari "serangan balik" koruptor terhadap Komisi.
Empat serangkai pemimpin KPK sekarang kita percaya telah cukup "makan asam-garam" dalam menghadapi berbagai gempuran. Mereka mampu mengemudikan komisi itu. Adapun untuk tambahan seorang pemimpin pengganti Tumpak nanti, hendaknya dicari yang benar-benar kredibel dan tak diragukan rekam jejaknya. Pemerintah dan DPR mesti belajar dari kasus terpilihnya Antasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo