Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang terjadi dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu sungguh ganjil dan memalukan. Bahkan jauh lebih aneh daripada sinetron atau film yang paling absurd sekalipun. Inilah yang disebut stranger than fiction, sebuah peristiwa dalam dunia nyata yang jauh lebih aneh daripada kisah rekaan dunia fiksi. Sidang Paripurna DPR yang membahas laporan Panitia Khusus Angket Bank Century itu bukan saja riuh-rendah seperti komedi, melainkan juga menggambarkan pertemuan besar yang lepas kendali.
Keriuhan pertama bermula ketika Ketua Panitia Khusus Angket Bank Century membacakan kesimpulan dan rekomendasi. Terdengar teriakan, nyanyian, celetukan, yang lebih sering terjadi dalam pertandingan sepak bola ”tarkam” alias antarkampung.
Keramaian semakin meningkat ketika dibacakan sikap tujuh fraksi yang menyatakan ada dugaan pelanggaran dalam kebijakan penyelamatan Century.
Hujan interupsi tak berkesudahan. Bahkan akhirnya para anggota sampai merangsek maju merubung meja pimpinan. Pimpinan Dewan bingung, seperti polisi linglung yang terjebak macet Ibu Kota dan ”dibentak-bentak” klakson mobil. Sang ”polisi sidang”, Ketua DPR Marzuki Alie, yang seharusnya mampu mengatasi situasi yang kacau, malah menutup sidang dan segera ”dievakuasi” ke luar ruang sidang.
Yang terjadi dalam sidang itu menunjukkan anggota DPR tak mampu menjalankan sebuah rapat yang beretika. Padahal dalam Tata Tertib DPR Bab XVI seluruh tata cara pelaksanaan persidangan dan rapat tercantum dengan terperinci.
Memang benar, pasal 260 tata tertib mengatur ketua sidang seyogianya memberikan kesempatan pada anggota rapat untuk interupsi. Tapi ketua juga berhak membatasi lama bicara, juga menghentikan pembicara, apabila interupsi itu tak ada hubungannya dengan materi yang dibicarakan. Bahkan pasal 262 memberikan kewenangan pada ketua untuk memperingatkan pembicara yang menggunakan kata-kata yang tidak layak atau melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban rapat.
Anggota DPR seharusnya sudah tahu bahwa interupsi cukup dilakukan dari tempat duduknya, tanpa harus menjerit, apalagi menyerbu meja pimpinan. Pimpinan DPR, dengan wewenang begitu luas, mestinya mampu menjadi polisi lalu lintas yang berwibawa sehingga rapat tak berubah menjadi ”pasar malam”.
Tata cara persidangan tak menyebutkan apa yang harus dilakukan ketua jika anggotanya menyanyi atau berjoget seperti yang terjadi pada hari kedua sidang. Tapi aturan melarang anggota makan atau menggunakan telepon seluler. Mustahil di ruang sidang anggota Dewan diperbolehkan joget atau menyanyi. ”Bakat” itu baiknya disalurkan di panggung hiburan, misalnya ikut acara ”Berpacu dalam Melodi” yang diasuh Tantowi Yahya—anggota Fraksi Golkar yang terlihat menyanyikan lagu perjuangan di ruang sidang. Tata cara rupanya dicampakkan. Kita pun melihat sidang paripurna dua hari itu tak ubahnya sebuah sirkus yang geruwalan.
Bila anggota DPR masih ingin menyandang predikat ”yang terhormat”, yang wajib mereka lakukan adalah menghormati semua aturan Dewan. Kalau mereka menginjak-injak tata tertib Dewan, mereka kehilangan kepantasan untuk disebut ”terhormat” oleh rakyat. Seandainya mereka tak ingin diejek-ejek—seperti yang terjadi dalam dua hari sidang itu di media massa atau media online seperti Facebook dan Twitter—jangan lagi mengejek diri sendiri dengan bertingkah polah tak patut.
Anggota DPR mestinya merupakan sekumpulan orang beradab yang mampu menggelar sidang yang bermartabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo