Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Labirin Pengembalian Hak Korban Mafia Tanah

Rio Christiawan, Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya, menggambarkan betapa miris nasib para korban mafia tanah yang berusaha menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kembali tanahnya.

3 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mafia tanah merajalela karena terkoneksi dengan pejabat pertanahan, notaris, hingga kejaksaan.

  • Mereka melakukan tindakan melawan hukum dengan modus perdata dan pidana.

  • Korban harus menempuh labirin panjang untuk mendapatkan kembali tanahnya.

Rio Christiawan
Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belakangan ini masyarakat kembali diramaikan oleh tindakan mafia tanah yang kerap menempatkan masyarakat awam sebagai korban. Jan Maquest (1995) mendefinisikan mafia tanah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan baik dalam bentuk otoritas, kewenangan, maupun kekuasaan ekonomi serta menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk terlibat secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh tanah secara melawan hukum (ilegal).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia, mafia pertanahan terdiri atas gabungan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), aparatur negara lainnya, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan pihak lain. Mafia tanah termasuk kejahatan kerah putih yang dalam bertindak selalu melibatkan beberapa pihak sekaligus. Tulisan ini hendak menggambarkan betapa mirisnya nasib para korban yang berusaha menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kembali tanahnya.

Mafia tanah melakukan tindakan melawan hukum dengan dua modus, yakni secara perdata dan pidana. Modus perdata biasanya dibuat dengan adanya klausul "jebakan" dalam akta autentik, seperti harga telah ditetapkan dalam akta jual-beli tanah tapi jangka waktu transaksi tidak disebutkan secara jelas. Akibatnya, pihak yang dirugikan akan menggugat secara perdata ke pengadilan dan pada mata rantai ini akan melibatkan notaris, PPAT, dan hakim untuk mendapatkan penyelesaian yang diharapkan oleh para mafia tanah. Dalam modus pidana, pelanggaran biasanya dibuat lebih kasatmata, seperti pemalsuan dokumen atau tanda tangan, penggelapan, atau modus-modus pidana lain dengan melibatkan petugas BPN, PPAT, notaris, kepolisian, hingga hakim di pengadilan.

Baik modus perdata maupun pidana akan sama-sama menempatkan korban sebagai pihak yang paling dirugikan. Meskipun kerugian yang diderita korban sangat jelas, korban tetap harus menempuh proses hukum yang panjang dan berliku untuk mengembalikan haknya yang telah dirampas oleh para mafia hukum.

Secara keperdataan, korban harus menggugat ke pengadilan negeri, baik melalui gugatan wanprestasi maupun gugatan perbuatan melawan hukum, tergantung kasusnya. Persoalannya adalah, pada pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi di Mahkamah Agung, mereka akan berpotensi bertemu dengan hakim yang terlibat dalam mafia tanah.

Kalaupun mereka bertemu dengan penegak hukum yang bersih dari unsur mafia tanah, korban juga tetap harus menempuh persidangan yang cukup panjang. Jika gugatannya dikabulkan dan telah berkekuatan hukum tetap, ia harus melakukan proses eksekusi untuk mengembalikan tanahnya secara fisik maupun dokumen hukum (balik nama sertifikat tanah).

Proses eksekusi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara sukarela atau upaya paksa. Namun umumnya jika pun korban mafia tanah dikabulkan gugatannya, para mafia tanah tidak akan menyerahkan tanah tersebut secara sukarela sehingga korban perlu melakukan upaya paksa, yang tentu saja memakan waktu dan biaya serta melibatkan berbagai pihak.

Masalah lain dapat muncul bila mafia melakukan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Jika upaya ini dikabulkan, korban kembali harus menyerahkan tanahnya. Dalam hal ini, pertanyaan reflektifnya adalah sejauh mana keterlibatan negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negara dalam praktek ilegal mafia tanah?

Dalam hal menghadapi modus pidana mafia tanah, korban harus melalui proses hukum yang "sangat melelahkan". Korban harus membuat laporan ke pihak kepolisian, yang sering kali terkoneksi dengan mafia tanah juga, sehingga proses pembuatan laporan pengaduan saja bisa memakan waktu dan belum tentu diterima.

Seandainya laporan diterima dan ditindaklanjuti, polisi akan melakukan gelar perkara dan dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan. Ada dua kemungkinan kemudian, yakni polisi menghentikan penyidikan atau melimpahkan perkara tersebut ke kejaksaan.

Jika mafia tanah terkoneksi dengan kejaksaan, ada kemungkinan kejaksaan akan mengembalikan perkara tersebut ke kepolisian dengan alasan perkara kurang bukti, sehingga perkara itu akan menjadi "dipingpong" antara kepolisian dan kejaksaan. Jika pun berhasil menembus kejaksaan, pengadilan akan memutuskan perbuatan pidananya, tapi tidak hak keperdataannya. Pengadilan pidana juga dapat berlangsung lama, dari pengadilan negeri hingga kasasi, dan bahkan peninjauan kembali.

Jika korban berhasil mendapatkan keadilan di pengadilan pidana, berdasarkan putusan pengadilan tersebut ia harus menggugat secara perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum untuk mendapatkan kembali aset tanahnya. Artinya, meskipun sudah mendapatkan keadilan di pengadilan pidana, korban masih harus berhadapan dengan labirin persidangan perdata.

Gambaran di atas menunjukkan betapa rumitnya upaya korban untuk mendapatkan kembali tanahnya yang telah dirampas mafia tanah. Semua jalan seakan-akan buntu karena sangat mungkin ada jaringan mafia tanah di sana.

Satjipto Raharjo (2002) mengatakan, sebaik-baiknya hukum adalah hukum yang mampu melindungi sebanyak mungkin anggota masyarakat. Artinya, dengan kondisi penegakan hukum saat ini, pemerintah harus mampu membangun sistem hukum yang bersifat preventif agar masyarakat terhindar dari praktik mafia hukum. Pemerintah juga harus terus meningkatkan upaya agar aparat penegak hukum terhindar dari praktik mafia hukum dan menciptakan budaya hukum yang mampu melindungi masyarakat dari praktik mafia hukum.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Rio Christiawan

Rio Christiawan

Associate Professor Bidang Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus