Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KORBAN tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ternyata tidak pandang bulu. Biasanya korban kejahatan ini adalah para pencari kerja dari kalangan masyarakat miskin perdesaan yang tidak berdaya dan mudah ditipu. Namun kini para mahasiswa yang berpendidikan, termasuk pihak pimpinan kampus tempat mahasiswa itu berkuliah, turut menjadi korban lewat penipuan berkedok program magang Ferienjob, atau program kerja paruh waktu selama tiga bulan di Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbungkus program magang Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM), sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia teperdaya dan malah menjadi korban praktik penipuan serta TPPO. Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri mengungkap kasus dugaan TPPO dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke Jerman ini lewat laporan empat mahasiswa peserta program Ferienjob. Mereka mendatangi Kedutaan Republik Indonesia di Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dialami dan terjadi selama program magang di Jerman ternyata sangat eksploitatif dan merugikan hak mahasiswa sebagai peserta program magang kerja. Berbeda dengan janji-janji manis yang disosialisasi agen penyalur, jenis pekerjaan yang dilakukan mahasiswa peserta ini ternyata lebih banyak mengandalkan tenaga fisik atau jenis pekerjaan kasar.
Alih-alih memperoleh kesempatan belajar dan menerapkan ilmu yang dipelajari selama kuliah, para mahasiswa itu malah melakukan pekerjaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan latar belakang keilmuan mereka di kampus. Mereka tak ubahnya seperti pekerja rendahan atau pekerja kasar yang hanya mengandalkan otot.
Perdagangan Orang Berkedok Magang
Meski TPPO yang dialami para mahasiswa di Jerman tidak sedramatis kasus perdagangan manusia, yang korbannya anak dan perempuan yang biasanya dipekerjakan di sektor prostitusi, bukan berarti kasus ini bisa dibiarkan begitu saja. Kasus TPPO dengan korban seribu lebih mahasiswa di Jerman ini bukan tidak mungkin terulang dalam bentuk lain.
Kasus TPPO yang dialami para mahasiswa di Jerman ini perlu mendapat perhatian lebih karena di dalamnya sudah ada sejumlah hal yang terjadi. Pertama, dalam kasus ini telah terjadi proses pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya, yang meliputi kegiatan perekrutan, transportasi atau pengangkutan, transfer (alih tangan), serta penampungan dan penerimaan. Kedua, meski dalam proses rekrutmen tidak menggunakan ancaman, pemaksaaan, dan penculikan, dalam prosesnya telah terjadi praktik penipuan yang memanfaatkan ketidaktahuan korban. Ketiga, telah terjadi eksploitasi yang meliputi pemanfaatan mahasiswa dalam kerja yang menekan, setengah kerja paksa (fisik ataupun jasa), atau praktik-praktik menyerupai perbudakan, serta penghambaan (servitude).
Seperti korban TPPO lainnya, para mahasiswa yang menjadi korban eksploitasi kerja di Jerman umumnya orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang apa yang dialami. Seribu lebih mahasiswa menjadi korban TPPO karena tergiur oleh promosi dan janji-janji yang ditawarkan pihak agen perekrut.
Pihak agen yang menjalin kerja sama dengan berbagai universitas menggunakan dokumen memorandum of understanding (MoU), menebar janji bahwa program Ferienjob terintegrasi dengan program MBKM. Mereka juga berjanji bahwa program magang di Jerman ini dapat dikonversikan menjadi 20 satuan kredit semester, plus iming-iming keuntungan karena akan memperoleh gaji yang layak selama magang. Mahasiswa yang tidak tahu apa-apa, wajar jika tergiur oleh janji-janji tersebut. Tanpa berpikir panjang, para mahasiswa itu pun rela mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk membiayai persiapan dan keberangkatan mereka.
Modus yang dikembangkan agen untuk merekrut mahasiswa memang halus dan dibungkus kerja sama yang seolah-olah resmi. Pihak pimpinan kampus yang tidak memastikan lebih dulu MoU yang dibuat akhirnya juga teperdaya. Ambisi kampus untuk mensukseskan program MBKM membuat mereka tidak berpikir kritis. Tanpa dibekali rekam jejak mitra mereka yang ternyata penipu itu, para pemimpin kampus dengan sembrono menandatangani perjanjian kerja sama dengan agen. Satu hal yang tidak dipahami pimpinan kampus adalah, begitu para mahasiswa berangkat ke Jerman, ternyata di sana mereka dipekerjakan secara nonpresedural dan eksploitatif.
Di negara tujuan, yakni di Jerman, seribu lebih mahasiswa yang sudah telanjur berangkat tidak bisa berbuat apa-apa ketika disodori kontrak kerja. Pihak agen umumnya memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan mahasiswa berbahasa Jerman. Seperti diberitakan di media massa, setiba di tujuan, para mahasiswa peserta magang itu langsung disodori surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman. Surat kontrak tersebut dibuat dalam bahasa Jerman yang tidak dipahami oleh para mahasiswa.
Yang tidak disadari para mahasiswa adalah bagaimana pasal-pasal dalam kontrak itu yang merugikan dan memperlakukan mereka layaknya pekerja kasar. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi korban tindak TPPO selama di Jerman. Gaji mereka dipotong dengan alasan untuk pembayaran uang sewa apartemen, biaya pendaftaran, dan biaya pembuatan letter of acceptance.
Pentingnya Memeriksa Rekam Jejak
Saat ini, semua korban TPPO di Jerman dilaporkan telah kembali ke Tanah Air. Kontrak kerja magang mereka telah berakhir pada Desember 2023. Namun bukan berarti persoalan telah selesai. Pihak kepolisian memastikan bahwa para penyidik akan menggandeng berbagai pihak untuk mengungkap kasus ini, seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia Jerman dan Kemendikbudristek.
Sementara itu, pihak kepolisian sudah menetapkan lima orang sebagai tersangka—termasuk seorang guru besar dan dosen di salah satu universitas yang mahasiswanya menjadi korban. Bagaimanapun, kasus TPPO ini harus diproses secara hukum dan pihak-pihak yang terlibat dalam praktik palsu tersebut diberi sanksi.
Pimpinan kampus tentu wajib ikut bertanggung jawab atas keteledoran yang mereka lakukan. Kasus TPPO mahasiswa Indonesia di Jerman ini sebuah pelajaran pahit. Pimpinan kampus tidak bisa dengan mudah menyetujui serta mengirim mahasiswa mengikuti program kerja magang sebelum benar-benar memastikan keamanan dan kenyamanan mahasiswanya.
Kasus eksploitasi mahasiswa yang terjadi di Jerman ini bukan tidak mungkin bukanlah satu-satunya kasus penyimpangan yang dibungkus dengan nama resmi program MBKM. Memeriksa rekam jejak mitra dan lebih dulu memeriksa kebenaran janji-janji yang ditawarkan agen mutlak dilakukan agar kesalahan yang sama tidak terulang.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.