Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Republik Indonesia tak selayaknya menyelipkan ancaman bagi penghina presiden dan pejabat pemerintah dalam surat telegram tentang penanganan pandemi Covid-19. Di samping mengancam kebebasan berekspresi, aturan seperti itu mudah menjadi alat kriminalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman bagi penghina presiden dan pejabat pemerintah itu termuat dalam satu dari tiga telegram Kepala Polri Jenderal Idham Azis pada Sabtu, 4 April lalu. Salah satu surat memerintahkan aparat kepolisian melakukan patroli cyber untuk memantau perkembangan situasi dan opini selama pandemi. Sasarannya, antara lain, penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah. Polisi akan menindak secara hukum jika terjadi pelanggaran tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman pidana bagi orang yang dianggap menghina presiden dan pejabat pemerintah tak akan menyelesaikan masalah. Dalam situasi krisis seperti sekarang, masyarakat cenderung panik. Masyarakat membutuhkan otoritas kesehatan yang dapat dipercaya sebagai panduan mereka dalam menghadapi wabah.
Ketika pemerintah tak cukup memberikan informasi secara transparan, dapat dipahami jika masyarakat kemudian mengkritik pemerintah. Apalagi jika pemerintah memang tidak kompeten menangani pandemi. Bila ada masyarakat yang marah, pemerintah seharusnya menerima hal tersebut sebagai bahan introspeksi.
Presiden Joko Widodo semestinya tak membiarkan kepolisian mengkriminalkan warga yang dituduh menghinanya. Pemimpin yang sudah terpilih secara demokratis tak boleh memberangus hak warganya untuk berekspresi. Beberapa kritik mungkin terdengar kasar, bahkan menjurus ke penghinaan. Tapi itu bukan alasan untuk menjebloskan sang pengkritik ke penjara.
Polisi harus membuat skala prioritas. Aturan tentang penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah bukan hal yang urgen saat ini. Jangan sampai polisi lebih berfokus mengejar pengkritik pemerintah dan mengabaikan penanganan pandemi yang mengancam jutaan nyawa penduduk Indonesia. Pada saat masyarakat panik, yang dibutuhkan adalah solidaritas sesama warga dan jiwa besar para pemimpinnya. Solidaritas sulit dibangun jika tidak ada saling percaya antara masyarakat dan pemerintah.
Jokowi harus menghentikan langkah polisi yang kelewat batas dalam menangkapi pengkritik pemerintah. Dalam dua pekan terakhir saja, polisi telah menangkap lima orang. Salah seorang di antaranya advokat di Bali yang dituduh menghina Presiden melalui ujaran di media sosial ihwal penanganan pemerintah terhadap pandemi Covid-19. Polisi menjerat mereka dengan pasal pencemaran nama dan ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kedua pasal karet tersebut selama ini paling kerap digunakan aparat untuk membungkam kebebasan berpendapat, setelah Mahkamah Konstitusi mencabut pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 2016. Dewan Perwakilan Rakyat harus segera merevisi Undang-Undang ITE dan menghilangkan ancaman hukuman penjara pada pasal pencemaran nama dan ujaran kebencian itu. Revisi itu penting untuk memutus rantai kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo