Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU saja peristiwa ini tak menyangkut Muhammadiyah, barangkali kita bisa berpikir lain. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, memecat cendekiawan Dawam Rahardjo dari keanggotaan organisasi itu. Alasannya sederhana, yakni soal sikap Dawam yang membela Ahmadiyah. Dalam polemik Ahmadiyah yang meruncing setahun terakhir, Dawam dengan keras mengecam para penyerang ajaran Mirza Ghulam Ahmad tersebut. Ia memang tak setuju pada Ahmadiyah, tapi pelarangan, apalagi dengan kekerasan, terhadap keyakinan suatu kelompok menurut dia sangat tak patut.
Belakangan Dawam juga membela Lia Aminuddin, yang menahbiskan diri sebagai Jibril. Tapi itu dilakukannya bukan karena ia menyetujui ajaran Lia, melainkan karena Dawam percaya tak seorang pun berhak mengadili keyakinan dan agama orang lain. Kata Din, sikap Dawam itu telah memunculkan polemik di kalangan anggota organisasinya. Dawam juga dianggap telah melanggar aturan lembaga.
Misalkan Din Ketua Front Pembela Islam (FPI), Forum Ulama Umat Islam (FUUI), atau Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP), kita mungkin bisa memahami apa yang terjadi. Ketiga organisasi itu tak punya sejarah sebagai lembaga yang menjaga perbedaan pendapat dan mempromosikan pluralisme beragama. Dawam, dengan pendapat-pendapatnya, sejak awal tentu akan ditendang jauh-jauh dari organisasi itu.
Tapi soalnya adalah karena Din Ketua Muhammadiyah. Lembaga yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini sejak awal menaruh perhatian pada dua hal: pemurnian dan pembaharuan pemikiran Islam. Pemurnian dilakukan dalam konteks membersihkan Islam dari takhayul dan kepercayaan lokal yang memang marak ketika itu. Pembaharuan dilakukan untuk menyegarkan kembali pemikiran Islam yang ketika itu dibelenggu oleh sekat mazhab-mazhab. Dalam hal yang kedua inilah Muhammadiyah dikenal sebagai lembaga yang menghargai perbedaan pendapat. Dua Ketua Muhammadiyah terdahulu—M. Amien Rais dan Ahmad Syafi’i Ma’arif—adalah tokoh yang dikenal luas menghargai perbedaan pendapat dan pluralisme beragama.
Maka pemecatan Dawam Rahardjo patut disayangkan karena dua alasan. Pertama, dengan menengok sejarahnya, keputusan Din Syamsuddin itu jelas merupakan langkah mundur. Muhammadiyah punya hak untuk menerima atau menolak ajaran tertentu, tapi tak ada sejarahnya mereka memberangus ajaran lain atau memecat anggotanya yang membela kebebasan beragama pemeluk ajaran itu.
Kedua, Muhammadiyah, bersama Nahdlatul Ulama, adalah organisasi Islam yang terbukti ampuh memelihara citra Islam sebagai agama yang teduh di Indonesia. Dengan massanya yang besar, mereka bisa menunjukkan bahwa organisasi radikal berbendera Islam apa pun di negeri ini sesungguhnya ”tidak ada apa-apanya” jika dibandingkan dengan mereka. Posisi ini penting untuk menandingi maraknya organisasi berlabel Islam yang menegakkan kalimat Tuhan dengan kekerasan dan ancaman. Pemecatan Dawam Rahardjo bisa membalik posisi itu: Muhammadiyah bisa diidentikkan dengan organisasi massa Islam lain yang tak menghargai perbedaan pendapat.
Apa yang dilakukan Dawam Rahardjo sesungguhnya penting untuk menjaga terpeliharanya toleransi antarumat beragama di Indonesia. Karenanya, tak selayaknya ia dipecat seperti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo