Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan Komisi Yudisial membersihkan Mahkamah Agung dari hakim agung yang jelek atau kotor adalah baik dan sungguh diperlukan. Hanya tentang caranya, yaitu dengan menyaring ulang semua hakim agung yang ada, tidak semua bisa diajak sependapat. Ada yang menentang gagasan Komisi Yudisial itu dengan keras, termasuk Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri. Apalagi karena prosesnya harus dengan bantuan presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Sebuah perpu dikeluarkan oleh presiden di saat ada kegentingan dalam negara. Jika belum ada undang-undang yang bisa dipakai untuk mengatasi ancaman kegentingan itu dengan segera, maka presiden boleh menetapkan peraturan pemerintah yang berlaku sama kuat seperti undang-undang. Itulah yang dimaksud konstitusi dengan ”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Apakah kiranya kegentingan yang memaksa sehingga perlu ditetapkan perpu yang memberi wewenang kepada Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi ulang semua hakim agung sekaligus?
Komisi Yudisial berpendapat bahwa kebobrokan lembaga peradilan sekarang sudah parah betul. Akibatnya, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, tidak akan pernah bisa terlaksana dengan baik dan benar. Contoh yang diambil ialah kasus penyuapan hakim agung yang dilaporkan Probosutedjo baru-baru ini, yang prosesnya belum juga atau mungkin tidak akan pernah bisa tuntas. Ini adalah indikasi bahwa tingkat kebusukan sudah memerlukan langkah reformasi yang radikal.
Langkah itu harus dimulai dengan pembersihan di Mahkamah Agung. Hakim yang baik masih lebih utama ketimbang memperbaiki peraturan. Sayangnya, Komisi Yudisial hanya dilengkapi—oleh undang-undang maupun konstitusi—dengan wewenang terbatas, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan serta menjaga perilaku hakim saja. Bukan wewenang untuk menyaring hakim agung yang sudah ada. Karena itu, Komisi Yudisial ingin agar UU Nomor 22 Tahun 2004 diamendemen, dan supaya cepat perubahan itu dilakukan melalui penetapan perpu oleh presiden.
Namun, rencana Komisi Yudisial ini, sebaik apa pun maksudnya, membawa beberapa masalah. Pertama, soal kegentingan yang memaksa untuk menggunakan bentuk perpu. Memang, payahnya lembaga peradilan bisa dirasakan, tapi tak sedemikian genting sampai bisa membenarkan penetapan sebuah perpu. Jika dibiasakan menerbitkan perpu tanpa alasan kegentingan yang benar-benar mendesak, penguasa didorong untuk memerintah dengan dekrit, lalu cenderung menjadi otoriter.
Kedua, mengajak presiden mencampuri urusan penilaian hakim akan menabrak asas kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri. Masalah terakhir ialah isi rencana perpu itu—tambahan wewenang Komisi Yudisial menyeleksi kembali hakim agung aktif—akan berlawanan dengan konstitusi yang membatasi wewenang hanya untuk ”mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Perpu itu, sekalipun nantinya disahkan DPR jadi undang-undang, akan jadi obyek sengketa yang hampir pasti akan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Jadi, bagaimana cara membersihkan Mahkamah Agung yang bisa diterima? Pengawasan konkret dan proses penilaian hakim yang berbuat kesalahan—dengan bukti-bukti yang sah—harus dengan tekun dijalankan oleh Komisi Yudisial. Bila untuk itu diperlukan penyempurnaan undang-undang, maka amendemen cukup dilakukan melalui proses legislasi yang normal. Sama seperti asas bahwa hakim yang baik adalah lebih penting, juga lebih penting punya anggota Komisi Yudisial yang baik dan kompeten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo